February 17, 2008

Menyisir Distorsi BLBI

Tajuk Koran Tempo – 150208
Oleh: Karaniya Dharmasaputra

Hiruk pikuk interpelasi kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), menurut hemat kami, tengah dikaburkan berbagai distorsi. Untuk itu, bersama ini kami mengajak sidang pembaca untuk mendiskusikan berbagai faktor yang telah menghalangi kejernihan pandangan kita dalam melihat persoalan ini.

Pertama, perlu kembali dipertegas bahwa dari total Rp 424,5 triliun dana restrukturisasi perbankan yang dikucurkan pemerintah, hampir 67 persennya (Rp 283,5 triliun) digerojokkan ke bank pelat merah. Artinya, tak kurang pentingnya dari menyoroti bank-bank swasta penerima dana ini, titik perhatian juga musti diarahkan ke bank-bank BUMN. Anehnya, sampai sekarang wilayah ini nyaris tak tersentuh.

Hal terpenting berkait dengan kebijakan penyelesaian BLBI itu sendiri. Tak boleh kita lupakan, setelah krisis menghantam dan melumat perbankan kita, adalah pemerintah sendiri yang menetapkan metode penyelesaian di luar jalur pengadilan (out of court settlement). Mengenyampingkan jalan pidana, dipilihlah skema Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS). Pemerintah menyuntik dana supaya bank tidak kolaps, lalu pemilik bank sebagai debitur membayarnya dengan menyerahkan sejumlah aset. Kejaksaan Agung, yang kini membuka kembali penyelidikan kasus tersebut, terlibat sedari awal dalam proses ini.

Kebijakan sejenis itu bukanlah monopoli Indonesia. Thailand, Filipina, dan Korea Selatan pun melakukannya, dengan nilai pengembalian aset yang beragam. Thailand 35 persen, Korea Selatan 49 persen, sedangkan kita hanya 28 persen. Memang perlu dicatat proses di negara-negara itu berlangsung lebih baik dan kurang korup dibanding di negeri ini.

Kini, skema yang telah disepakati bersama itu digugat. Kami berpandangan, demi terjaganya kepastian hukum, skema PKPS itu—dengan segala kekurangannya—harus kita hormati. Terasa janggal jika kejaksaan dan sejumlah politisi kembali mengutak-atik kebijakan ini. Surat Keterangan Lunas (SKL) yang telah diberikan kepada obligor hanya dapat disoal kembali jika, dan hanya jika, ditemukan unsur pidana di dalamnya—misalnya pembelian kembali (buy back) aset oleh pemilik lama, atau ditemukan adanya penyuapan. Tanpa itu, langkah kejaksaan membuka kembali penyelidikan terasa tak wajar.

Hal lain, sudah saatnya kita secara terbuka membahas dua persoalan yang selama ini beredar sebagai bisik-bisik. Ada indikasi bahwa mencuatnya kembali kasus ini tak lepas dari berbagai vested interests. Salah satunya terkait dengan sengketa dua taipan dalam kasus pembelian aset di Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Sejumlah kampanye, diskusi, dan iklan media massa, misalnya, dituduhkan berkait dengan salah satu pihak yang tengah berseteru. Tuduhan ini perlu ditelusuri kebenarannya. Jika memang valid, pemerintah dan parlemen tak boleh terseret dalam arus konflik di ranah privat ini dan sebaiknya memfokuskan perhatian semata pada kepentingan publik.

Yang lain berkait dengan pemilihan umum 2009 yang telah menjelang. Sudah bukan rahasia lagi, inilah saat di mana politisi mengerahkan segala daya untuk mengumpulkan dana politik yang jumlahnya tak sedikit. Kini beredar syak wasangka bahwa kasus ini kembali “digoreng” karena menjadi lahan yang empuk buat mendulang uang. Kekhawatiran ini bukanlah tanpa dasar. Karena itu kebenarannya perlu ditelusuri Komisi Pemberantasan Korupsi.

Kita semua berharap supaya kasus BLBI diselesaikan secara jernih, adil, dan menjunjung tinggi hukum. Untuk itu, berbagai distorsi di atas perlu kita sisir terlebih dahulu.

* * *

No comments: