February 27, 2008

Dimensi Pemerasan Skandal BI

Tajuk - Koran Tempo, 23 Februari 2008
Oleh: Karaniya Dharmasaputra

Skandal dana Bank Indonesia (BI) sejatinya menyimpan satu peluang emas. “Jendela kesempatan” sedang terbuka lebar bagi upaya membongkar praktek pemerasan yang diduga melibatkan sejumlah anggota perlemen dan aparat hukum. Dalam hemat kami, ini momentum tak ternilai bagi perang melawan korupsi mengingat di dua sektor itulah persoalan korupsi Republik selama ini bersumber. Sayangnya, penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum juga menyentuh wilayah strategis ini. Entah kenapa.

Kami bertanya-tanya tentang daftar cegah-tangkal yang diajukan KPK. Dari 17 nama yang dicantumkan, tak satu pun terdapat anggota parlemen aktif, jaksa atau hakim. Yang ada hanyalah Antony Zeidra Abidin, mantan anggota Komisi Keuangan DPR dari Partai Golkar yang kini menjabat Wakil Gubernur Jambi. Nama satu anggota Dewan lain yang telah diperiksa KPK sebagai saksi, Hamka Yandu, menghilang dari lis. Padahal, sebagaimana ditengarai Badan Pemeriksa Keuangan, keduanya punya peran yang sama penting.

Tak salah jika orang lantas bercuriga. Jangan-jangan, kabar tentang “Pertemuan Dharmawangsa” yang konon membahas upaya memblokade kasus ini agar tak menghantam Senayan, benar adanya.

KPK juga belum sekuku pun menyentuh aparat hukum. Padahal, laporan BPK kepada KPK telah menyatakan dugaan ke arah ini dengan gamblang. Tertulis antara lain, “Menurut keterangan pihak-pihak terkait, dana tersebut kemudian diserahkan kepada oknum para penegak hukum di Kejaksaan Agung.”

Seorang mantan pemimpin KPK pernah menjelaskan, dimensi pemerasan dalam skandal ini sebenarnya lebih mengemuka. Kami sependapat. KPK mestinya tak melulu memfokuskan penyelidikan pada unsur penyuapan. UU Antikorupsi 20/2001 telah mengamanatkan bahwa perang melawan korupsi juga meliputi pemberantasan praktek pemerasan. Dinyatakan pasal 12 (e) bahwa tindak pidana korupsi juga termasuk setiap tindakan “penyelenggara negara yang … dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran…”

Kita mahfum bahwa kebanyakan pihak, termasuk pejabat pemerintah, berada di posisi yang lebih lemah ketika berurusan dengan parlemen dan aparat hukum. Penolakan menyediakan uang pelicin bisa berarti fatal. Rancangan undang-undang yang penting terus dipendam di laci atau penyidikan perkara lantas digiring sewenang-wenang.

Hasil penelitian Fahad Khalil dkk. yang dipublikasikan tahun lalu menguatkan pendapat kami. Mereka menyimpulkan, ketimbang suap, pemerasan adalah isu yang lebih serius dan punya dampak lebih merusak di negara berkembang. Penyebabnya, di wilayah ini transaksi biasanya didasarkan pada “informasi lunak” dalam struktur hukum yang rentan. “Informasi lunak” misalnya berupa vonis tilang atas dasar penilaian subyektif polisi, yang kontras dengan “informasi keras” berupa rekaman video pelanggaran lalu-lintas.

Skandal dana BI adalah pertaruhan buat kepemimpinan KPK yang baru. Sekaligus, ia menjanjikan sebuah kegemilangan. KPK niscaya dicatat sejarah dengan tinta emas jika berhasil menciptakan efek jera bagi praktek pemerasan di parlemen dan lembaga penegak hukum, yang telah sedemikian menggila itu.

* * *

No comments: