July 8, 2009

Quick Count Tidak Beradab?


Oleh: Karaniya Dharmasaputra

VIVAnews.com, Rabu, 8 Juli 2009, 12:35 WIB

Pagi-pagi di hari Pemilu Presiden, orang sudah heboh tentang penayangan hasil hitung cepat (quick count) di sejumlah stasiun TV sebelum TPS ditutup. Bawaslu dan KPU protes keras. Bahkan ada yang memaki hal itu sebagai "praktek tak beradab."

Aneh.

Padahal, sebagaimana dinyatakan Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Dr. Kuskridho Ambardi, "tak satu pun peraturan yang menjadi dasar pelarangan itu." Sebagaimana dinyatakan pemimpin KPU, larangan ini didasarkan semata pada kesepakatan antara KPU dengan para pengurus stasiun TV.

Bagi kalangan yang melihat quick count sebagai "dedemit yang menakutkan," metode ilmiah yang diterapkan di banyak sistem demokrasi maju ini malah suka salah kaprah dilihat sebagai upaya kampanye terselubung nan licik dari kandidat tertentu.

Lucu.

Quick count justru lahir dengan tujuan untuk menyediakan metode kontrol bagi terjadinya banyak kecurangan pemilu di Eropa Timur dan Afrika pada tahun 80-an. Dengan sistem hitung cepat ini, masyarakat bisa mengetahui perkiraan hasil akhir pemilu tanpa harus menunggu hasil resmi diumumkan sekian pekan atau bulan kemudian--di mana biasanya terbuka peluang untuk dimanipulasi di sana-sini.

Buku panduan National Democratic Institute (NDI)--lembaga riset dan pengawas pemilu terkemuka--menjelaskan, quick count terbukti jadi metoda yang ampuh untuk mencegah upaya pencurian suara di Filipina pada 1986 dan Yugoslavia pada 2000. Ini juga terbukti telah dimanfaatkan oleh aktivis pro-demokrasi untuk melawan upaya rezim yang berkuasa untuk membatalkan plebisit Cili 1988 dan hasil pemilu putaran pertama pada tahun 2000 di Peru.

Bagaimana dengan paranoia pengurus KPU bahwa penayangan hasil quick count akan mempengaruhi pilihan warga?

"Berbagai hasil penelitian empiris di berbagai negara menunjukkan efek survei dan quick count pada pemilih tidak signifikan," kata Dr. Kuskridho. Karena itu, di banyak negara maju, tak masalah jika quick count ditayangkan sebelum TPS resmi ditutup.

Selamat memilih!

(kar.d@vivanews.com, twitter: @karaniya)

July 4, 2009

Selamat Memilih!

Oleh: Karaniya Dharmasaputra

Jum'at, 3 Juli 2009, 20:16 WIB

VIVAnews - Debat Calon Presiden RI putaran kedua, 25 Juni 2009.

SBY (sambil melirik JK): "SBY juga bisa cepat ... Jika terpilih, saya akan melanjutkan program pro rakyat ... Lebih tepat, lebih baik, lebih amanah."

JK menukas: "Saya sanggup karena punya pengalaman, dan saya lebih cepat, lebih baik... Saya siap 'lanjutkan' Pak SBY."

Mega tak mau kalah: "Pak SBY dan JK ini kan pernah bekerja sama saya."

JK : "Tapi, kerja saya bagus kan, Bu?"

Mega: "Tidak, dong."

Gerrrr ... para kandidat dan hadirin pun tertawa.

***

Meski belum sesengit dan sesubstansial acara serupa di Amerika, debat calon presiden kita mulai lumayan asyik ditonton. Cair. Segar.

Besar hati juga melihatnya. Terlebih, jika kita tengok nasib demokrasi di negara-negara lain di Asia, yang berguguran satu per satu.

Majalah Time mencatat betapa sejak tahun 2008 negara-negara Asia seperti kian menjauh dari demokrasi. Malaysia terus bergumul dengan praktek-praktek politik kotor untuk membungkam kelompok oposisi. Demokrasi Thailand, Korea Selatan, dan Mongolia riuh-rendah dengan huru-hara dan aksi protes jalanan. Pakistan dan Timor Leste nyaris terjatuh dalam kategori negara-gagal. Filipina yang merebut demokrasinya melalui gerakan People Power di tahun 1986 berkali-kali menetapkan status negaranya dalam situasi darurat karena kemelut politik.

Karena itu, tak kelewat berlebihan jika majalah berpengaruh Economist belum lama ini menurunkan sebuah artikel berjudul "the Indonesian Suprise" dan memuja-muji negeri kita sebagai "South-East AsiaĆ­s only fully functioning democracy (satu-satunya demokrasi yang berfungsi secara penuh di Asia Tenggara)."

Salah satu pilar terpenting demokrasi, kebebasan pers, pun masih tegak dijaga--meski berkali-kali coba dibikin keropos. Salah satu buktinya datang pada Jumat kemarin, 3 Juli 2009. Di hari itu Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan judicial review--yang diajukan oleh VIVAnews bersama enam media lain--terhadap sejumlah pasal di UU Pemilihan Presiden yang mengancam kebebasan pers dan berupaya menghidupkan kembali mekanisme bredel.

Tentu saja, sebagai sebuah demokrasi yang masih belia, kekurangan pastilah terdapat di sana-sini.

Satu yang patut dicatat adalah Kinerja Komisi Pemilihan Umum periode ini yang luar biasa jeleknya, untuk tak mengatakan "memalukan." Jutaan pemilih yang direnggut haknya pada pemilu legislatif lalu menyisakan bukan hanya jejak skandal tapi juga ancaman pidana pemilu. Sistem tabulasi kita bahkan mundur ke Zaman Batu, membuat kita harus kembali ke, masya Allah, metoda pencatatan manual.

Hal penting lain adalah begitu mahalnya ongkos politik kita sekarang. Sistem suara terbanyak ternyata menuntut biaya political marketing miliaran rupiah untuk tiap kandidat. Seorang calon legislator mengaku menghabiskan setidaknya Rp 1 miliar selama kampanye pemilu legislatif kemarin. Itu minimal, katanya.

Implikasinya serius.

Bukan hanya sejumlah calon anggota DPR yang gagal terpilih jadi sinting (dalam arti harfiah), tapi juga praktek ini mengancam kualitas parlemen kita di masa depan. Fakta menunjukkan banyak kandidat yang berkualitas gagal ke Senayan karena tak punya cukup dana kampanye. Mereka kalah beken dari calon yang semata berkantung tebal atau kurang lucu dibanding Eko Patrio.

Kita tentu tak ingin kembali ke sistem politik yang didominasi oligarki partai. Sebuah sistem pemilihan yang menggabungkan mekanisme penunjukan partai dan suara terbanyak--sebagaimana yang diadopsi beberapa negara di Eropa--bisa menawarkan jalan tengah yang baik. Ke depan, amandemen paket UU politik perlu disegerakan menuju ke arah ini.

Demokrasi kita, mengutip Economist, memang belum lagi menjadi paragon dari demokrasi Jeffersonian. Tapi, tidaklah dapat dipungkiri, ia sedang terus bergerak maju.

Selamat memilih!
Lanjutkan! Lebih cepat, lebih baik. Supaya kita memiliki sistem demokrasi yang yang pro-rakyat.

(kar.d@vivanews.com | twitter: @karaniya)

June 15, 2009

Twitter, Obama, dan Presiden 2.0


Oleh: Karaniya Dharmasaputra
Senin, 15 Juni 2009, 07:26 WIB

VIVAnews - Tak cuma "sukses" mengorganisir demonstrasi anti komunis di Moldova, keampuhan Twitter telah ikut menghantarkan Barack Obama ke Gedung Putih.

Diyakini banyak pengamat politik, keunggulan kampanye dan penggalangan dana Obama tak dapat dipisahkan dari strategi tim suksesnya memanfaatkan Twitter, Facebook, atau YouTube. Pada putaran Pemilu November 2008 lalu, Senator Obama--atau salah satu stafnya--meng-update lebih dari 250 tweets di akun Twitter-nya, twitter.com/barackobama. Karena ini, oleh sebagian kalangan Obama ditahbiskan dengan sebuah gelar yang jauh lebih cool ketimbang sekadar Presiden Amerika Serikat. Obama, kata mereka, adalah "Presiden 2.0".

Namun kini, sebagaimana ditulis kolumnis teknologi Paul Boutin di laman New York Times, setelah pemilu usai para pendukung Obama dirundung kecewa. Bukan apa-apa, dalam periode 100 hari sejak diambil sumpahnya, Obama baru dua kali tweeting.

"Tak bisakah ia mengetik sebaris update setiap hari?" Boutin menggerutu, "Saya mencontreng orang ini, tapi saya tidak bisa berdiam diri saja ketika Presiden 2.0 ini malah membuang kredensial-online yang dia bangun sepanjang masa kampanyenya."

Sebagian kalangan meyakini, Mr. President tak lagi aktif tweeting melalui BlackBerry-nya gara-gara regulasi pemerintah federal yang membatasi cara dan jalur komunikasi presiden.

Dalam kolomnya, Boutin mendesak Obama supaya meniru langkah Secretary of State California, Debra Bowen, yang bisa tweeting hingga beberapa kali dalam sehari. Menurut Boutin, fungsi blog-mikro Twitter amatlah bermanfaat untuk memanusiawikan wajah birokrasi yang kaku dan berjarak dari warganya sendiri.

Ini contoh tweets Bu Bowen pada 4 Juni 2009 pk. 5:06 PM:

"My air card died; b'berry ails. But mtg with Open Source Digital Voting Foundation rocked. Check out http://bit.ly/OSDV - what do you think?"

Tak hanya di dunia politik, keampuhan Twitter telah dimanfaatkan oleh banyak selebriti. Februari lalu, pembawa acara TV kondang Oprah Winfrey dan bintang film Ashton Kutcher menjadi buah bibir di Amerika gara-gara aplikasi jejaring-sosial ini. Oprah menggunakan Twitter untuk show-nya, sedangkan Kutcher menarik jutaan fans menjadi follower-nya.

"Bayangkan kalau dia posting sesuatu di Twitter!" Bounet masih menggerutu.

"Dia" dalam kalimat Bounet ditujukan bagi Obama. Tapi, rasanya pas juga kalau itu ditujukan buat SBY, Mega, atau JK--supaya kelak mereka tak hanya sekadar disumpah sebagai Presiden RI titik, tapi supaya lebih keren lagi sebagai: Presiden RI 2.0 (kar.d@vivanews.com, @karaniya, @vivanewsgroup).

Sumber: nytimes.com

Jika Anda punya pengalaman, pandangan, atau laporan menarik tentang Twitter, kami berterima kasih jika Anda bersedia mengirimkannya kepada kami untuk kami tayangkan di VIVAnews.Kirim laporan Anda di sini: http://ureport.vivanews.com/send_ureport/post/

• VIVAnews

http://teknologi.vivanews.com/news/read/66451-twitter__obama__dan_presiden_2_0

Keampuhan Twitter Menyulut Revolusi


Oleh: Karaniya Dharmasaputra
Minggu, 14 Juni 2009, 14:43 WIB

VIVAnews - Twitter ternyata bukan hanya aplikasi untuk memamerkan pasta apa yang sedang kamu makan atau sengantuk apa kamu hari ini. Sejumlah pengamat politik dan media meyakini gelombang pesan di Twitter--yang cuma 140 karakter itu--ternyata telah memainkan peran penting dalam mengobarkan revolusi!

Ini serius.

Dilaporkan laman berita berpengaruh Telegraph, Guardian, dan New York Times, fenomena itu antara lain telah terjadi di Moldova, negara kecil eks Uni Sovyet di tenggara Eropa.

Pada 7 April 2009 lalu, para pemrotes yang sebagian besar anak muda memanfaatkan Twitter, Facebook, dan SMS untuk mengorganisir demonstrasi anti komunis. Aksi ini berlangsung setelah partai komunis yang berkuasa mendeklarasikan kemenangan pada pemilu legislatif, dua hari sebelumnya.

Meyakini pemilu telah dicurangi rezim komunis yang sedang berkuasa, sekitar 20 ribu orang turun ke jalan, berdemo di depan istana Presiden Vladimir Voronin, dan bahkan menduduki gedung parlemen di Chisinau, ibu kota Moldova. Sebelum diredam aparat keamanan setempat, aksi ini berlangsung rusuh. Sejumlah orang terluka setelah terjadi bentrok fisik antara demonstran dan polisi anti huru-hara.

Pemimpin "Revolusi Twitter" ini adalah Natalia Morar, seorang perempuan aktivis dan wartawan investigasi yang baru berusia 25 tahun. "Kami yakin Pemilu telah dicurangi. Hari itu kami memutuskan untuk mengorganisir massa menggunakan Twitter, maupun situs jejaring sosial lainnya dan SMS," kata Morar kepada Guardian.

Semula, Morar hanya berharap pesan yang dikirimnya melalui Twitter akan mengumpulkan ratusan orang saja, terdiri dari teman dan kenalannya. Tapi apa yang terjadi kemudian sungguh membelalakkan matanya.

"Ketika kami datang ke alun-alun kota, sudah ada 20 ribu orang di situ. Sungguh unbelievable!" Morar menuturkan, "Selama ini kita menganggap remeh kekuatan Twitter dan Internet, dan ledakan kemarahan anak-anak muda pada kebijakan pemerintah dan kecurangan pemilu."

Di hari itu, para twitizen di Moldova gencar mengedarkan berbagai tweets yang berisi berbagai informasi tentang apa yang terjadi di seputar mereka dengan mencantumkan thread #pman. Sebagian serius, sebagian lagi guyonan.

Salah satu contohnya adalah ini:

timespunctro: Pravda, Moskow: Brigade Tank Rusia kesasar dan tiba di Chisinau gara-gara kesalahan pilot #pman

Saking takutnya, pemerintah akan metoda baru revolusi ini, di hari itu jaringan internet di Chisinau tiba-tiba putus di tengah kerusuhan.

Para politisi ada baiknya mulai berhati-hati mengadapi para tweeter dan facebooker. Sebelum Revolusi Twitter di Moldova, Internet, telepon seluler, dan SMS juga telah terbukti ampuh dalam menggalang aksi demonstrasi masal di Ukraina pada tahun 2004 dan Belarusia pada 2006 (kar.d@vivanews.com | @karaniya | @vivanewsgroup).

Sumber: Telegraph.co.uk | nytimes.com | guardian.co.uk

Jika Anda punya pengalaman, pandangan, atau laporan menarik tentang Twitter, kami berterima kasih jika Anda bersedia mengirimkannya kepada kami untuk kami tayangkan di VIVAnews.

• VIVAnews

http://teknologi.vivanews.com/news/read/66405-revolusi_twitter_di_moldova