February 6, 2008

Jangan Hanya Menimbang Pemilu

Tajuk – Koran Tempo, 26 Jan 2008
Oleh: Karaniya Dharmasaputra

Peringatan Dana Moneter Internasional (IMF) tak boleh kita anggap sepele. Selasa lalu, sebagai akibat krisis kredit perumahan di Amerika Serikat, bursa-bursa dunia ambruk. IMF mewanti-wanti bahwa perekonomian Asia Tenggara, termasuk Indonesia, akan terkena imbas paling parah dari gelombang resesi ini. Menurut kalkulasi, tiap penurunan satu persen-poin pertumbuhan ekonomi Abang Sam bakal memotong 0,5-1 persen-poin laju perekonomian Asia Tenggara.

Pemerintah langsung bersiaga. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memanggil tim ekonominya untuk membahas upaya menangkal bencana. Kepada wartawan, Menteri Keuangan Boediono menyatakan satu resep yang perlu diambil adalah “menyeimbangkan pengeluaran dan penerimaan untuk mengamankan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).”

Kalimat diplomatis itu, menurut hemat kami, menunjuk ke satu arah: pemerintah perlu kembali mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM).

Masalahnya, seperti dikeluhkan seorang ekonom di pemerintahan, pemerintah tak kunjung berani memutuskannya, terkhusus karena Pemilihan Umum 2009 sudah menjelang. Ia menjelaskan, menurut berbagai kalkulasi ekonomi yang rasional, kebijakan yang pahit itu sejatinya tak bisa ditawar lagi. Dengan harga minyak dunia yang terus membubung, beban subsidi BBM buat anggaran sudah nyaris tak tertanggungkan.

Kami maklum itu keputusan yang sulit, tak populer, dan penuh resiko. Lawan-lawan politik Presiden dan Wakil Presiden niscaya akan melahapnya. Setelah memotong subsidi BBM di tahun 2005, inflasi membubung, angka kemiskinan melonjak, dan protes meruyak di mana-mana. Data survey menunjukkan popularitas Presiden anjlok drastis.

Namun demikian, tak boleh kita lupakan bahwa berkat keputusan yang berani itulah kini kita selamat. Tak terbayangkan dampaknya buat perekonomian kini jika saat itu subsidi BBM urung dipangkas. Terlebih lagi, subsidi BBM yang sebagian besar dinikmati kalangan berpunya itu menohok rasa keadilan. Negeri ini sudah kelewat banyak mensubsidi kelompok kaya dan masih terlampau sedikit menopang kesejahteraan rakyatnya yang miskin. Subsidi buat si kaya musti terus dipangkas, lalu disalurkan untuk membantu mereka yang bergulat di batas garis kemiskinan.

Kita sedang menyaksikan sebuah tarik-menarik klasik antara dunia ekonomi dan politik. Dalam pidatonya di Australian National University, pada 2005 lampau, Menteri Boediono memperingatkan adanya “bias jangka-pendek dalam proses politik di sebuah demokrasi.” Berambisi memenangkan pemilu, politisi cenderung memprioritaskan kebijakan yang menguntungkan dalam jangka pendek dan menunda keputusan-keputusan yang berongkos politik tinggi.

Karena itu lah, meski terdengar agak naif, kami mengimbau Presiden dan Wakil Presiden agar tak terjebak dalam bias itu. Sungguh tak elok menunda sebuah langkah penyelamatan yang mendesak—apapun formatnya—di atas kalkulasi kalah-menang pada pemilu mendatang. Kami berharap, lebih dari sekadar menjadi politisi, Presiden Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, dapat menempatkan diri mereka sebagai negarawan yang mengutamakan kepentingan Republik di atas kepentingan politik jangka pendek.

* * *

No comments: