January 24, 2007

Dua Tangan Deng

By: Karaniya Dharmasaputra
Tempo Magazine, January 8, 2007.

Kernet dan sopir bis berhak gemas menyimak pernyataan pejabat belakangan ini soal korupsi. Organisasi Pengusaha Angkutan Darat (Organda) mengatakan pungutan liar kian mencekik nafkah mereka. Dilaporkan, tiap tahun 30 persen biaya operasi angkutan dihabiskan untuk “uang pelumas.” Kalau dirupiahkan bisa mencapai triliunan dalam setahun.

Nasib mereka yang kian tercekik korupsi itu seperti tak dipedulikan petinggi negara. Belakangan, para pejabat malah gemar merilis pernyataan bahwa pemberantasan korupsi telah mengganjal perekonomian.

Buat para kernet, bakul sayur, atau padagang kaki lima, korelasi antara korupsi dan perekonomian tidaklah seterbolak-balik itu. Hubungannya gamblang: korupsi adalah penyamun nafkah mereka. Dan memang itulah kenyataannya. Berbagai studi menyimpulkan korupsi, tak bisa lain, adalah penghalang pertumbuhan ekonomi.

Studi berpengaruh oleh Paulo Mauro (1995) menyediakan bukti ilmiah. Menguji data 94 negara dalam periode 1980-95 ia menyimpulkan keberhasilan pemberantasan korupsi berkorelasi positif dengan pertumbuhan ekonomi. Ia menemukan tiap kenaikan 2,4 poin pada indeks korupsi suatu negara akan mendongkrak tingkat investasi 4 poin-persen dan pertumbuhan rata-rata PDB perkapita 0,5 poin-persen di negara bersangkutan. Searah dengan itu, kajian Bank Dunia menaksir lebih dari 1 triliun dolar amblas tiap tahun dalam praktek korupsi.

Dampaknya pada perekonomian Indonesia digambarkan sejumlah data. Survey LPEM-UI dan Bank Dunia terhadap 600 pengusaha di tahun 2005, misalnya, menaksir uang siluman dalam urusan bea cukai mencapai Rp 7 triliun. Dalam catatan Badan Pemeriksa Keuangan, terhitung dari berbagai perkara di kejaksaan dan pengadilan hingga 2004, dana korupsi yang harus dikembalikan mencapai Rp 6,7 triliun.

Sekelompok ekonom turut andil dalam kekacauan sudut pandang ini. Mengutip-ngutip teori uang-pelicin (yang sudah ditinggalkan karena terbukti tak valid), mereka kerap menyuarakan bahwa korupsi tak selalu berperan jelek. Sepanjang bisa diinternalisir ke dalam biaya transaksi dan ongkosnya dibikin terukur, dalam pendapat mereka suap bisa jadi pelumas ekonomi yang efektif. Sebagai “bukti” mereka merujuk pada kedigdayaan ekonomi Orde Baru.

Ingatan manusia memang pendek. Peringatan Menteri Boediono perlu dicamkan. Berceramah di Universitas Nasional Australia, tahun lalu, ia mewanti-wanti supaya jangan pernah lagi kita mengabaikan good governance, yang merupakan penyebab utama ambruknya ekonomi Orde Baru saat dihantam krisis 1997.

Lagipula, teori uang pelumas tak punya makna di hadapan bakul sayur dan usaha kecil. Mengais laba dari marjin yang amat tipis, mereka jelas tak kuasa menginternalisir biaya yang muncul dari korupsi. Mereka tak punya kemewahan seperti perusahaan besar yang bisa membebankan satu-dua miliar uang sogok ke dalam struktur harga.

Mungkin benar, birokrat kita sedang dilanda “ketakutan massal.” Tapi bukankah ini justru berarti kampanye anti-korupsi telah berhasil menciptakan efek jera? Mendengar pernyataan pejabat kita jadi bingung. Seolah-olah birokrasi Republik selama ini bersih dan lalu macet gara-gara pemberantasan korupsi. Dan para kernet tahu bukan itu kenyataannya.

Peneliti korupsi bersepakat akan satu dalil: sukses gagalnya pemberantasan korupsi bergantung pada kemampuan negara menaikkan perkiraan ongkos yang muncul dari korupsi serta meninggikan probabilitas deteksi dan hukuman. Makin tinggi ongkos korupsi dan makin besar kemungkinan koruptor tertangkap, makin besar harapan kita melihat turunnya tingkat korupsi.

Dan itulah efek yang sedang kita lihat. Mengkambinghitamkan pemberantasan korupsi, di saat pejabat mulai takut terlibat korupsi, jelas kerancuan berpikir. Ini justru saat yang tepat untuk menyegarkan birokrasi kita. Reformasi birokrasi yang akan digulirkan harus difokuskan untuk menempatkan mereka yang profesional dan berintegritas ke berbagai posisi strategis.

Pengalaman Cina menarik buat dipelajari. Jauh sebelum muncul sebagai kekuatan ekonomi dunia, Cina sudah gencar memberantas korupsi. Mao menggelarnya sejak 1951, dua tahun setelah Partai Komunis Cina mengambil alih kekuasaan (Manion, 2004). Ketika itu ia mencanangkan kampanye Lima Anti (wu fan)—anti suap, penggelapan pajak, pencurian aset negara, manipulasi kontrak pemerintah, dan pencurian rahasia ekonomi negara. Strateginya ditujukan untuk meraih tiga target: mengejar pengakuan bersalah, mempermalukan koruptor di depan publik, dan “memburu macan” (menghukum koruptor kakap). Lepas dari motif politik Mao saat itu, untuk mendelegitimasi rejim Kuomintang (yang memang korup), 1,23 juta aparat divonis bersalah. Pengelolaan negara sempat terganggu. Tapi Mao memanfaatkan peluang emas itu dengan menempatkan kader-kadernya di posisi kunci birokrasi.

Seruan Deng Xiaoping musti baik-baik disimak para pemimpin kita. Di tahun 1982, di masa-masa awal ketika ia menyulap Cina menjadi raksasa ekonomi, Deng memerintahkan supaya segenap rakyat Tiongkok “bekerja dengan dua tangan”—satu tangan mendorong pertumbuhan ekonomi, sementara tangan yang lain membabat korupsi.
***