January 10, 2008

Obama dan Pemilih Muda Kita

Tajuk – Koran Tempo, 11 Jan 2008
Oleh: Karaniya Dharmasaputra

Hati kami bersama Barack Obama. Peluang kandidat Presiden Amerika Serikat dari Partai Demokrat ini masih diharap-harap cemas. Rabu kemarin, langkahnya tersendat di kaukus New Hampshire, setelah kalah tipis dari rival terberatnya, Senator Hillary Clinton. Meski demikian, satu hal sudahlah pasti. “Obamamania” yang menggetarkan jagat politik Amerika itu sedang menyatakan suatu pesan penting.

Simpati kami bukan semata karena Obama cilik pernah bersekolah di SD Negeri Menteng 1, Jakarta. Juga, bukan hanya karena dia dijuluki seorang “idealis sinting”—dalam bukunya, the Audacity of Hope, Senator Obama berjanji menyembuhkan luka politik Amerika yang kronis dibelah garis partisan. Pesan terpentingnya, khususnya buat kita di Indonesia, muncul sepekan lalu saat Obama yang berayah Kenya merebut kemenangan gemilang di kaukus Iowa—negara bagian yang nyaris didominasi warga kulit putih.

Analis politik bersepakat kemenangan bersejarah ini antara lain dihasilkan satu faktor: sokongan kaum muda. Data menunjukkan para mahasiswa berbaris di belakang Obama. Dia merebut 57 persen suara pemilih berusia 17-29 tahun, dan mendominasi bilik suara di kota-kota kampus. Tak cuma itu, sukses ini diraih berkat kerja keras tim kampanyenya yang terdiri dari anak-anak muda yang masih dan baru lulus kuliah.

Kegairahan di Iowa itu membuat kami tercenung. Fenomena itu sepertinya kontras dengan apa yang kita lihat di tanah air.

Peringatan Doktor Saiful Mujani, misalnya, perlu kita simak. Menurut Saiful, dari berbagai studi yang digelar Lembaga Survei Indonesia, perilaku pemilih muda kita menampilkan potret yang kelabu saat di cek-silang dengan variabel sosial ekonomi.

Di segmen menengah ke bawah, tingkat partisipasi politik kelompok ini (dalam bentuk mengikuti pemilihan umum) cukup tinggi. Penyebabnya, kalangan ini gampang dimobilisasi partai. Hal sebaliknya terjadi di strata menengah ke atas. Kelompok yang lebih berpendidikan ini, justru bersikap skeptis terhadap dunia politik. Dari sejumlah pemilihan umum sejak 1999, survey LSI mendeteksi partisipasi kelompok ini di pemilu terus menurun. Tidak tajam, memang, tapi cukup mengkhawatirkan dalam jangka panjang.

Itu tentu bukan masa depan yang kita inginkan. Kita mual melihat politisi yang korup. Kita gemas melihat anggota Dewan tidur pulas di tengah sidang. Tapi, produk pemilihan umum ini bukan harga mati. Itu bisa kita ubah.

Harapan perubahan ada di kelompok pemilih yang lebih kritis dan rasional. Dalam hal inilah, menggairahkan partisipasi politik pemilih muda yang terdidik punya arti strategis bagi arah politik kita ke depan. Apalagi, pada pemilu 2009 mendatang, kelompok ini punya posisi menentukan. Dari sekitar 170 juta pemilih, hampir 60 persen di antaranya adalah mereka yang berusia 20-40 tahun.

Kita ingin memiliki banyak Obama di Senayan. Kita mau “the Audacity of Hope” juga berpendar di mimbar politik nasional. Untuk itu, pelajaran dari Iowa tak boleh dilewatkan.

* * *