December 21, 2007

Menagih Pembaharuan MA

Tajuk - Koran Tempo, 21 Desember 2007
Oleh: Karaniya Dharmasaputra

Figur sekelas Profesor Bagir Manan--seorang akademisi dan hakim nonkarir--ternyata bukan garansi bagi terwujudnya sebuah Mahkamah Agung (MA) yang menjunjung cita-cita reformasi. Setelah Orde Baru tumbang dan MA memperoleh independensinya, kita menyaksikan lembaga peradilan tertinggi ini masih menjadi institusi yang tertutup dan tak akuntabel.

Tengok saja kabar tentang MA yang mendominasi halaman muka berbagai koran beberapa hari belakangan.

Kita telah lama prihatin menyaksikan banyak instansi pemerintah mengelola rekening liar yang tak jelas pertanggungjawabannya. Karena itulah, kita menyambut gembira ketika Departemen Keuangan membentuk Tim Penertiban Rekening untuk membereskannya. Senin kemarin, Tim mengumumkan telah menemukan kejanggalan pada 1.700-an rekening dengan nilai total Rp 1 triliun lebih.

Ternyata, hasil itu belum meliputi rekening MA. Lembaga yang (konon) merupakan benteng terakhir keadilan ini, merupakan satu-satunya instansi yang belum bisa dijangkau Tim Pembenahan. Menurut Departemen Keuangan, pejabat MA tak sekalipun menggubris undangan untuk membahas persoalan penting ini. MA baru sebatas mengirimkan data, dan karena itu rekeningnya belum dapat ditelisik.

Ini amat kami sesalkan, karena rekening di lingkungan MA bukan tanpa masalah. Sebagaimana diakui sendiri oleh pihak MA, ada ratusan rekening milik berbagai pengadilan di Bank Mandiri yang tak jelas hal-ihwalnya.

Keprihatinan kami makin menjadi, mengingat ketertutupan ini bukan baru kali pertama. Sebelumnya, MA juga sempat menutup pintu rapat-rapat terhadap niat Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengaudit biaya perkara yang dikelolanya. Agustus lalu, BPK mengungkap adanya pungutan terhadap pihak berperkara sebesar Rp 500 ribu di tingkat kasasi dan Rp 2,5 juta untuk peninjauan kembali. Dari jumlah itu, auditor mendapati yang disetor ke kas negara cuma seribu perak per perkara. Ke mana dan bagaimana selebihnya uang itu dikelola, hanya pimpinan MA yang tahu.

Transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan pemerintah, telah kita sepakati merupakan salah satu tonggak terpenting reformasi. Alih-alih menjadi halang-rintang yang utama, MA semestinya menjadi gantungan harapan kita semua dalam mewujudkan cita-cita itu.

Perlu kami ingatkan di sini, soal transparansi dan akuntabilitas itu telah tebal-tebal digarisbawahi dalam Cetak Biru Pembaharuan MA. Dirampungkan 2003 lalu, dalam kata pengantarnya Bagir menulis bahwa dokumen ini "merupakan sebuah pedoman/arah dan pendekatan yang akan ditempuh oleh MA untuk mengembalikan citra MA sebagai lembaga yang terhormat dan dihormati masyarakat dan Lembaga Negara lainnya."

Bahkan, menyangkut uang perkara di atas, Cetak Biru telah secara khusus memberikan rekomendasi gamblang. Bunyinya: "MA perlu memberikan kesempatan kepada BPK untuk dapat memeriksa uang perkara yang dikelola MA."

Suatu saat Bagir pernah dengan bungah menyatakan, "Saya lah yang memelopori transparansi di lingkungan pengadilan." Dengan segala hormat, kami mendesak Ketua MA supaya berpegang teguh pada apa yang pernah dinyatakannya sendiri.

* * *

Menyorot Seleksi Pimpinan KPK

Tajuk – Koran Tempo, 7 Desember 2007
Oleh: Karaniya Dharmasaputra

Sungguh mengecewakan hasil seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2007-2011. Dua hari lalu, wakil rakyat di Komisi Hukum menulikan diri dari tuntutan khalayak dengan kukuh memilih jaksa Antasari Azhar sebagai ketua baru KPK—lembaga tumpuan harapan kita untuk mewujudkan Indonesia yang lebih bersih.

Sejak awal, proses seleksi Antasari telah menuai kritik. Rekam jejak Direktur Penuntutan Kejaksaan Agung ini dinodai paling banyak laporan negatif. Kepada Komisi Pemantau Peradilan, sejumlah pengacara, pengusaha, politisi, dan wartawan menuding Antasari pernah terlibat pemerasan dan penyuapan. Laporan kekayaannya pun disorot. Menerima gaji Rp 5,5 juta sebulan, ia mengaku berharta Rp 3,5 miliar. September lalu, usai diwawancarai ihwal pencalonannya, sang ketua KPK terpilih menawari /Tempo/ apa yang disebutnya “uang terima kasih” berbentuk lembaran dolar Amerika.

Blunder ini tak lepas dari peran Panitia Seleksi yang ditunjuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyaring 10 nama calon, sebelum kemudian disodorkan ke parlemen. Meski telah menerima berbagai catatan di atas, Panitia Seleksi yang sejatinya punya kewenangan penuh untuk mencoret nama kandidat yang diragukan integritasnya, memilih tetap meloloskannya. Ini amat disayangkan, mengingat Panitia Seleksi beranggotakan sejumlah “nama besar” yang diagung-agungkan publik. Mereka antara lain: Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Taufik Effendi, Adi Andoyo, Syafii Maarif, Felia Salim, Daniel Sparringa, Rhenald Kasali, Komaruddin Hidayat, Ichlasul Amal, Hikmahanto Juwana, dan Fajrul Falaakh.

Metode seleksi ini harus tajam dievaluasi dan diperbaiki. Satu hal yang patut kita pertanyakan adalah kontradiksi di balik mekanisme yang kini berlaku. DPR adalah salah satu lembaga paling korup di negeri ini, tapi DPR itu juga lah yang diberi mandat untuk memilih pemimpin komisi antikorupsi.

Selama ini parlemen tak henti dirundung skandal—mulai dari kasus dana nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan sampai aliran duit Bank Indonesia; dan KPK lah yang gencar mengusutnya. Kepada koran ini, Wakil Ketua KPK sekarang, Amien Sunaryadi, pernah mengutarakan cita-citanya untuk memenjarakan para koruptor di Senayan, dan Dewan langsung menebas peluangnya untuk melanjutkan tugas di periode mendatang. Tak dibutuhkan seorang Albert Einstein untuk menyimpulkan bahwa politisi kita memang berkepentingan secara langsung untuk mengerdilkan KPK.

Untuk itu, perlu kiranya ditimbang berbagai alternatif lain. Salah satunya adalah seperti yang diterapkan Komisi Independen Antikorupsi Hongkong (ICAC). Berbeda dengan KPK, struktur ICAC didesain agar sesteril mungkin dari kontaminasi kepentingan politik parlemen.

Meski demikian, dunia belumlah kiamat. Kaum reformis, aktivis gerakan antikorupsi, pers, dan tokoh masyarakat madani lainnya perlu segera merapatkan barisan. Langkah bersama penting segera dirumuskan untuk mengantisipasi gejala yang kini dikhawatirkan mengarah pada penggembosan KPK. Walau kita masih harus melihat kinerja pemimpin KPK mendatang, ada baiknya kita juga mulai mencari peluang perbaikan di tempat-tempat lain.

* * *