October 31, 2007

Pertaruhan Kasus Pajak Asian Agri

Tajuk – Koran Tempo, 31 Oktober 2007

Pernyataan Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution mengernyitkan dahi kita. Darmin menerangkan bahwa salah satu opsi penanganan kasus dugaan penggelapan pajak Asian Agri Group yang sedang ditimbang pemerintah adalah penyelesaian di luar pengadilan (out of court settlement).

Mendengarnya kita terusik, karena penyidikan aparat pajak telah menyimpulkan bahwa sepak terjang kelompok usaha milik taipan Sukanto Tanoto itu berpotensi merugikan negara dalam skala yang luar biasa. Nilai sementara ditaksir mencapai Rp 1,3 triliun. Jika kelak terbukti, kasus ini akan dicatat sebagai salah satu manipulasi pajak terbesar dalam sejarah Republik.

Karena itu kita lantas bertanya, seberapa patut langkah ini diambil pemerintah?

Menurut hemat kami, kita sebaiknya tak buru-buru menyimpulkan ada udang di balik opsi tersebut. Selama ini, kami mengenal Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Dirjen Darmin Nasution sebagai sosok yang berintegritas. Pemerintah sendiri belum mengambil keputusan final. Menteri Sri telah menyatakan akan tetap melimpahkan perkara ini ke kejaksaan dan menegaskan komitmennya untuk menangani kasus besar ini dengan berpegang teguh pada ketentuan hukum. Mari kita buka mata dan telinga untuk mengawasi dan memastikannya.

Di luar rasa was-was itu, perlu kami nyatakan bahwa, suka tak suka, hukum memang mengizinkan pemerintah mengambil langkah itu. Pasal 44B dalam UU 9/2004 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang lantas diperbaharui UU 28/2007, menyatakan bahwa demi kepentingan penerimaan negara dan atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan.

Dari informasi yang kami himpun, kami memaklumi opsi ini masuk pertimbangan karena suatu alasan taktis. Jika perkara ini diajukan ke pengadilan, yang masih teramat korup itu, negara menghadapi resiko gigit jari—tersangka dihukum ringan, bahkan lolos, dan dikenai denda minimal, bahkan mungkin nol.

Namun demikian, di atas permakluman itu, kami mendesak agar pemerintah menjalankan amanat undang-undang dengan sepenuh-penuhnya. Pasal 44B itu mensyaratkan penyidikan bisa dihentikan jika, dan hanya jika, tersangka terlebih dahulu melunasi tunggakan pajaknya ditambah membayar denda sebesar empat kali dari nilai yang digelapkan.

Ketentuan ini tak boleh dikompromikan seinci pun. Nilai denda mesti dimaksimalkan. Berpatokan pada nilai dugaan penggelapan sebesar Rp 1,3 triliun, maka jika kelak terbukti, Asian Agri harus dipastikan menyetor tak kurang dari Rp 6,5 triliun ke kas negara.

Hanya dengan itulah rasa keadilan masyarakat bisa tetap terpenuhi. Hanya dengan itulah efek jera bisa tetap menjalar pada pengemplang pajak yang lain.

Kasus Asian Agri adalah suatu pertaruhan. Ia akan sangat menentukan kadar kepatuhan kita dalam membayar pajak, dan karenanya, menjadi pertaruhan bagi masa depan perpajakan yang merupakan tumpuan utama pendapatan nasional. Dari total penerimaan anggaran di tahun ini, pajak ditargetkan menyumbang 70,9 persen, atau Rp 500 triliun lebih.

Tak hanya itu, yang juga sedang dipertaruhkan adalah keberhasilan reformasi birokrasi yang kini sedang digelar di Departemen Keuangan, khususnya di Direktorat Jenderal Pajak. Penanganan kasus Asian Agri adalah tolok ukur kita dalam menilai apakah aparat pajak yang kini bergaji tinggi itu tak lagi takluk di hadapan mereka yang berlimpah uang dan kuasa.

* * *

October 19, 2007

Memburu Kemakmuran

Tajuk – Koran Tempo, 19 Oktober 2007

Kabar menarik itu datang dari Hongkong. Selasa kemarin, sebuah laporan bertajuk Asia-Pacific Wealth 2007 dirilis. Isinya menyebutkan: di tahun kemarin, jumlah warga Indonesia yang memiliki kekayaan sedikitnya sejuta dolar Amerika mencapai 20 ribu orang. Jumlah ini bertambah 16,7 persen dibanding tahun 2005 dan merupakan angka pertumbuhan ketiga tertinggi di kawasan ini, setelah Singapura dan India.

Jika kekayaan tersebut halal diperoleh, itu tentu kabar baik. Boleh jadi, ini pertanda perekonomian kita yang tengah kembali beranjak naik.

Gambaran optimistis itu pula yang kita lihat dari menurunnya grafik kemiskinan. Kalau berpegang pada hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional, tahun ini jumlah kaum papa berkurang 2,13 juta dari total 39,3 juta di tahun sebelumnya.

Namun, saat kita berpuas diri masihlah jauh. Jumlah penduduk miskin di negeri ini tetap kelewat banyak. Kesenjangan kaya-miskin di tanah air pun cukup lebar, 34,2 menurut indeks Gini 2002. Meski lebih baik ketimbang Thailand atau Vietnam, angka ini jauh di atas kebanyakan negara maju yang berada di kisaran 10.

Karena itu, tak bosan kami mendesak pemerintah supaya lebih tegas memerangi korupsi. Merosotnya skor kita dalam Indeks Persepsi Korupsi-Transparansi Internasional tahun ini—dari 2,4 tahun lalu menjadi 2,3—adalah lampu kuning yang tak boleh diabaikan.

Sebagaimana ditunjukkan oleh banyak studi, korupsi mengganjal pertumbuhan dan merintangi investasi. Lebih penting lagi, praktek tercela itu paling keras memukul kaum miskin. Merampas akses kelompok tak berpunya pada berbagai layanan vital seperti pendidikan dan kesehatan, korupsi berperan langsung dalam melebarkan kesenjangan. Pemberantasan korupsi adalah variabel determinan supaya kita melihat suatu keadilan: orang jadi kaya bukan karena mencoleng, sementara yang miskin bisa bangkit karena tak dirampas haknya.

Kami menyadari pemerintah tengah menggelar berbagai upaya untuk mengentaskan kemiskinan. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat, misalnya, digelar dengan ambisi mengangkat pendapatan 16 juta warga miskin dan membuka lapangan kerja bagi 24 juta orang. Kami mendesak agar program-program penting seperti ini dipastikan tak hanya mengkilat di atas kertas.

Untuk itu, ada baiknya kita menyimak saran Joseph Stiglitz. Peraih Nobel Ekonomi ini baru saja menganjurkan kita untuk mempelajari “keajaiban ekonomi Malaysia.” Dengan menyimpan dulu segala kejengkelan kita terhadap negeri jiran, coba kita pelajari capaian hebat mereka dalam memburu kemakmuran.

Merdeka setengah abad lalu sebagai salah satu negara paling miskin, Malaysia kini menjelma menjadi salah satu perekonomian yang tumbuh paling pesat di dunia—bersama Cina, Taiwan, Korea Selatan, dan Thailand. Lebih hebat lagi, mereka berhasil memotong tingkat kemiskinan 2,8 persen setahun dan memasang target akan menghapus kemelaratan dalam tiga tahun ke depan. Malaysia juga sukses mengatasi kesenjangan kaya-miskin, yang dicatat Stiglitz, dicapai “bukan dengan menarik yang di atas ke bawah, tapi dengan mendorong yang di bawah ke atas.” Segala capaian itu diraih berkat sejumlah kebijakan jitu: investasi besar-besaran di sektor pendidikan dan teknologi, mendorong peningkatan tabungan, dan kebijakan afirmatif yang efektif.

Nasionalisme dan patriotisme kita yang belakangan bergemuruh hebat, ada baiknya kita arahkan untuk menjawab satu pertanyaan ini: jika Malaysia bisa, kenapa kita tidak?

* * *

October 2, 2007

Merindukan Gerald Shur

Opini – Majalah Tempo, 4 Oktober 2007

Pada lari ke mana “kaum reformis” ketika peran nyata mereka dibutuhkan?

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) adalah mimpi kita sedari lama. Telah bertahun-tahun kaum reformis menyuarakan bahwa keberadaan institusi ini begitu mendesaknya dalam memerangi korupsi, tindak kriminal teroganisir, dan kejahatan kemanusiaan luar biasa. Namun, setelah fondasinya dipancangkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006, seleksi calon pemimpin LPSK kembali dibelit masalah klasik: sepi dari nama-nama terpercaya. Menurut seorang anggota panitia seleksi, dari 100 lebih calon yang mendaftar baru dua yang bobotnya bisa diandalkan.

Ini amat kita sesalkan. Pada lari ke mana mereka yang selama ini meributkan arti penting lembaga ini? Ada di mana “kaum reformis” saat peran nyata mereka dibutuhkan untuk berbuat lebih dari sekadar menyuarakan ide-ide cemerlang di koran?

Kita merindukan sosok Gerald Shur. Dia jaksa hebat yang memprakarsai program perlindungan saksi di Amerika Serikat, WITSEC. Gagasan Shur muncul di akhir tahun 1960-an, suatu masa ketika negeri Abang Sam sengit memerangi kelompok-kelompok mafia yang tak sekedip pun segan membunuh saksi kunci yang bisa menyeret mereka ke bui. Sejak dibidani pada 1970, program ini telah melindungi nyawa 7500 saksi dan 9500 anggota keluarga mereka.

Ini memang kerja besar lagi berat, tapi amatlah strategis. Lihat hasil yang dipetik WITSEC ketika melindungi Philip Tolomeo, kolektor piutang Calabrese—kelompok mafia yang kebrutalannya terkenal di seantero Chicago pada 1978 sampai 1988. Menggelapkan uang bosnya, Tolomeo kabur dengan menggondol setumpuk dokumen penting yang memerinci kegiatan ilegal geng itu. Ia lalu masuk program WITSEC. Berkat kesaksian dan dokumen Tolomeo, dua gembong Calabrese yang lama tak tersentuh hukum berhasil dijebloskan ke bui.

Tapi coba kita bandingkan dengan nasib Vincentius Amin Sutanto, mantan pengendali keuangan Grup Asian Agri. Seperti halnya Tolomeo, Vincent bukan malaikat. Mengaku telah menggelapkan uang perusahaan, ia lalu menjadi peniup-peluit dalam kasus dugaan penggelapan pajak berskala luar biasa di perusahaan milik Sukanto Tanoto itu. Berkat kesaksian dan dokumen bukti yang dia serahkan, suatu kejahatan yang lebih besar boleh jadi bisa dibongkar. Tak cuma itu, uang negara pun mungkin dapat diselamatkan—sedikitnya Rp 800 miliar menurut Direktorat Jenderal Pajak.

Karena nyanyian sumbangnya, Vincent mengaku mendapat teror. Begitu pula anak istrinya. Ironisnya, bukan dilindungi aparat, pengadilan malah menjatuhkan vonis tak masuk akal baginya. Ia dihukum bui 11 tahun, bukan hanya karena terbukti melakukan penggelapan—kejahatan yang ia memang akui—tapi juga pencucian uang yang tak dilakukannya.

Dalam situasi memprihatinkan ini, kita perlu banyak Gerald Shur di daftar calon pemimpin LPSK. Panitia telah mengundurkan tenggat pendaftaran hingga 20 Oktober mendatang dan tengah proaktif berkampanye ke berbagai daerah. Sejalan dengan itu, kami mendesak para tokoh LSM, cendekiawan, dan lainnya, yang selama ini menyandang predikat gagah sebagai pendekar refomasi hukum dan lantang mendesakkan pembentukan LPSK, untuk mempertanggungjawabkan klaim dan tuntutan mereka itu dengan segera ikut mendaftar. Berbagai dalih seperti enggan “dikerjai” dalam uji kelayakan di DPR, mohon maaf, adalah bentuk kecengengan yang tak bisa kami maklumi.

* * *

Birma, Bukan Myanmar

Tajuk - Koran Tempo, 29 September 2007

Kali ini kami tak sepakat dengan Shakespeare. Nama, dalam kasus ini, menjadi sesuatu yang prinsipiil. Buat kami, negeri tetangga yang tengah bergolak menuntut hak demokrasinya itu bernama Birma, bukan Myanmar.

Negeri Seribu Pagoda terlahir merdeka dengan nama Republik Sosialis Persatuan Birma. Namun, di tahun 1988, tentara melancarkan kudeta, membentuk junta militer yang memerintah dengan tangan besi, lalu mengganti nama negeri nan permai ini menjadi Myanmar.

Dewan Pembangunan dan Ketenteraman Negara (SPDC), junta militer yang kini dipimpin Jenderal Tan Shwe, memberangus demokrasi dan menindas oposisi. Pemilu parlemen 1990, yang dimenangkan partai oposisi Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), dibatalkan. Padahal, NLD meraih kemenangan telak—mereka merebut hampir 80 persen dari jumlah kursi yang diperebutkan. Para pemimpinnya dijebloskan ke penjara. Sampai hari ini, telah 12 tahun Sekretaris Jenderal NLD sekaligus peraih Nobel Perdamaian, Aung San Suu Kyi, mendekam di tahanan rumah.

Sejak itu lah, nama “Birma” mengkristal sebagai simbol perlawanan kelompok pro-demokrasi, dan “Myanmar” menjadi perlambang tirani. Di Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang mendasarkan langkahnya pertama-tama pada asas kedaulatan masing-masing negara, memang nama Myanmar yang resmi dipakai. Tapi, negara-negara demokratis Barat, seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan Irlandia, tak mengakuinya. Sejumlah media di negara-negara itu, seperti BBC dan Financial Times pun secara konsisten menggunakan nama Birma dalam pemberitaan mereka. Di garis ini pula lah kami ikut berdiri.

Buat kami, sekali lagi, persoalannya lebih dari sekadar sebuah nama. Menonton ribuan warga dan bhiksu Birma tumpah ke jalan, ditembaki tentara, terluka, dan sepuluh diantaranya tewas; menyeret kenangan kita pada masa-masa perjuangan reformasi di tahun 1998—demonstran yang menyemut, Jakarta yang hitam hangus, panser yang menderu, dan Presiden Suharto yang lengser terpaksa.

Sejak itu, kita hidup lebih baik, setidaknya secara politik. Dengan segala eksesnya, kita merasakan betapa leganya menghirup udara kebebasan di alam demokrasi. Kebebasan pers ditegakkan—Majalah Tempo yang diberangus rezim otoriter Suharto bisa terbit kembali, dan koran ini pun lahir bersama berbagai media lain yang tumbuh menjamur. Kita kini bisa memilih langsung presiden, gubernur, dan walikota—satu hal yang sudah kita anggap lumrah, tapi masih jadi mimpi buat para biksu yang sedang berdemonstrasi di jalan-jalan Ragoon sana. Di dunia internasional, apalagi setelah demokrasi Thailand kembali terjerembab, Indonesia digadang-gadang sebagai negeri paling demokratis di Asia Tenggara.

Di atas rahmat demokrasi itu lah, seyogyanya Pemerintah mengambil peran lebih aktif dan bersikap lebih tegas dalam menyokong persemaian demokrasi di Birma. Sekadar himbauan, kecaman, dan manuver verbal tak lagi memadai. Rezim Tan Shwe sudah lama menulikan telinganya pada tuntuntan demokratisasi dari dunia internasional. Langkah dan desakan yang lebih kongkrit dalam kerangka ASEAN, misalnya, amat diperlukan. Salah satu bentuknya bisa seperti yang pernah disuarakan mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad. Di tahun 1993 silam, ia mengancam akan memprakarsai petisi untuk mengeluarkan Birma dari ASEAN sehubungan tindakan represif junta militer terhadap Suu Kyi.

Keperluan akan adanya tekanan keras seperti itu, perlu kembali didesakkan, supaya Myanmar kembali menjadi Birma.

* * *

Jangan Pertaruhkan Martabat Dewan

Tajuk Koran Tempo, 18 September 2007

Perdebatan tentang perlu tidaknya Nurdin Halid diberhentikan sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat menyimpan suatu keanehan. Persoalan itu, di mata kami, sungguh sebening kaca. Nurdin, yang baru divonis bersalah oleh Mahkamah Agung karena menyelewengkan dana pendistribusian minyak goreng Bulog senilai Rp 169,7 miliar, jelas tak patut menyandang predikat terhormat sebagai wakil rakyat.

Sehari setelah dilantik menjadi anggota Dewan dari Fraksi Golkar, Nurdin dihukum Majelis Hakim untuk dikerangkeng selama dua tahun dan membayar denda Rp 30 juta. Hari ini, statusnya di parlemen akan diputuskan dalam rapat harian Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar.

Satu langkah hukum memang masih tersisa untuk sang terpidana. Jika memiliki bukti baru yang mendukung, ia masih bisa mengajukan peninjauan kembali. Artinya, jika langkah itu dia tempuh, Nurdin bisa berdalih bahwa putusan itu belum berkekuatan hukum tetap. Patut kita catat, selama ini dalih legalistik formal seperti itu selalu diajukan para politisi dan pejabat yang sedang berurusan dengan hukum untuk bertahan di kursinya.

Argumen semacam ini, kami khawatir, sedang menuju ke satu arah: standar etik dan kultur politik bangsa ini sedang mengalami erosi besar-besaran. Dua faktor itu, menurut keyakinan kami, seharusnya senantiasa ditempatkan di atas argumen hukum formal.

Coba kita berkaca pada budaya politik Jepang. Kita menyaksikan betapa politisi Negeri Sakura memilih langsung mengundurkan diri setelah aibnya terbongkar ke muka publik. Salah satu contohnya baru kita lihat Rabu pekan lalu ketika Perdana Menteri Shinzo Abe meletakkan jabatannya. Keputusan ini dibuat di bawah tekanan partainya, Partai Demokratik Liberal (LDP), berkait dengan rencana sebuah media membongkar skandal penggelapan pajak Abe. Mei sebelumnya, Menteri Pertanian Toshikatsu Matsuoka bahkan memilih /harakiri/. Penyebabnya, “hanya” karena ia dipergoki telah menggelembungkan pengeluaran kantor dan tak mengumumkan sumbangan politik yang diterimanya.

Sungguh kontras fenomena itu dengan apa yang kita saksikan di tanah air. Politisi negeri ini, jangankan sekadar dibongkar aibnya di media massa, bahkan setelah ditetapkan sebagai terdakwa dan terpidana pun masih tampil penuh percaya diri di muka publik, berpesta ke sana-kemari, dan kukuh bertahan di kursinya.

Tambahan lagi, catatan hidup Nurdin tak seputih kapas. Berulang kali ia dililit berbagai perkara kriminal, meski selalu berhasil lolos. Pada 2004 ia sempat menjadi tersangka kasus penggelapan puluhan ribu ton gula impor ilegal. Tujuh tahun sebelumnya, dia sempat ditahan dan diadili dalam kasus penggelapan dana simpanan wajib petani cengkeh sebesar Rp 115 miliar.

Karena itu, pernyataan tegas Ketua Umum Partai Golongan Karya Jusuf Kalla yang tak akan melindungi sang terpidana, tentu kita dukung. Status Nurdin adalah pertaruhan martabat parlemen kita—yang sudah sedemikian compang-camping dikoyak berbagai isu korupsi kronis. Pemecatannya, mudah-mudahan, akan menjadi pertanda berakhirnya budaya politik yang telah lama membuat kita merasa risih.

* * *