February 10, 2008

Imlek dan Berkah Reformasi

Tajuk, Koran Tempo – 8 Januari 2008
Oleh: Karaniya Dharmasaputra

Ada satu hal yang perlu kita garis bawahi dalam perayaan tahun baru Imlek ini. Dibanding masa Orde Baru, hidup warga Tionghoa di era reformasi telah jauh lebih lega. Ketika puja-puji terhadap almarhum Soeharto kembali mengangkasa, tak boleh sekali-kali kita lupakan betapa rezim otoritarian sang Jenderal Besar telah mengungkung hak-hak politik, hukum, sosial, dan kebudayaan warga Tionghoa.

Di masa itu, ruang gerak kalangan ini dipagari di sektor ekonomi. Patriotisme mereka dipertanyakan. Gerak-geriknya selalu dicurigai sebagai antek Peking. Aktivitas berkelompok warga Tionghoa, termasuk yang berkaitan dengan ibadah, cuma bisa digelar atas seizin Badan Koordinasi Masalah Cina - Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin). Satu-satunya surat kabar berbahasa Cina yang diberi hak hidup hanyalah yang terafiliasi dengan lembaga spionase ini. Kelenteng tak boleh dipugar. Aksara Cina diharamkan di tempat-tempat publik. Supaya jadi lebih “pribumi,” nama bahkan musti diganti—dari Liem Suk Min jadi Sukimin, misalnya.

Secara hukum kelompok ini pun didiskriminasi. Kartu tanda penduduk, paspor dan identitas lain ditandai secara khusus. Biar terlahir di Bumi Pertiwi dan menjadi Warga Negara Indonesia yang sah, mereka diwajibkan memiliki Surat Bukti Kewarganegara Republik Indonesia (SBKRI). Buat generasi yang lebih muda—yang sebagian bahkan sudah tak kuasa berbahasa Mandarin, tak lagi mampu menikmati lagu Taiwan, dan paling banter cuma bisa mengapresiasi film kungfu Jet Li—mereka dipaksa mengkategorikan diri sebagai “warga keturunan.”

Gelombang reformasi mengempaskan berbagai monumen diskriminasi di atas. Ia menabalkan asumsi politik kebudayaan asimilasi Orde Baru—bahwa pengembangan kebudayaan Cina perlu diblokade karena berpotensi mengoyak persatuan dan kesatuan bangsa. Ketika barongsai meliuk-liuk di ajang kampanye pemilu 1999, alih-alih mengobarkan kerusuhan, ia menciptakan parade kebudayaan yang meriah buat semua. Setelah pintu isolasi kebudayaan Cina dibuka paska Kerusuhan Mei 1998, nyaris tak meletup satu pun kerusuhan anti-Cina yang berskala luas. Relasi sosial warga Tionghoa dengan bumiputra terasa menjadi lebih cair.

Salah satu tonggak diskriminasi, persyaratan SBKRI, secara legal formal kini telah dipangkas. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1996 tentang Kewarganegaraan RI menetapkan pengurusan paspor, KTP, akta pernikahan, dan lainnya, tak lagi memerlukan SBKRI. Sejak 2001, Imlek bahkan ditetapkan sebagai hari libur fakultatif.

Di luar berbagai kemajuan fenomenal itu, tak boleh kita lengah bahwa sejumlah akar masalah belumlah tuntas dicabut. Kesenjangan ekonomi antara warga Tionghoa dan bumiputra masih perlu dicari solusinya. Stereotip bahwa warga Tionghoa adalah binatang ekonomi yang rakus, antisosial, dan jahat mesti diupayakan untuk dikikis. Pemerintah harus lebih giat mensosialisasikan UU Kewarganegaraan karena masih banyak pemerintah daerah yang menerapkan peraturan daerah yang diskriminatif, termasuk pemberlakuan SBKRI. Berbagai sekat sosial yang tersisa perlu digerus—di sektor perumahan, pendidikan, dunia kerja, tempat ibadah, dan banyak lainnya.

Dengan sejumlah catatan itu, kami mengucapkan Gong Xi Fat Chai!

* * *

No comments: