November 29, 2007

Menggugat Monopoli

Tajuk – Koran Tempo, 30 Nov 2007
Oleh: Karaniya Dharmasaputra

Berita gugatan class action terhadap Telkomsel dan Indosat adalah hal yang, meminjam motto Majalah Tempo, “enak dibaca dan perlu.” Akhir Oktober lalu, Mikha Melviana dan sejumlah orang lainnya mendaftarkan gugatan terhadap dua perusahaan telepon seluler itu di Pengadilan Negeri Bekasi. Para penggugat menyoal peran kedua operator itu pada mahalnya tarif seluler di negeri ini. Menurut kabar, gugatan serupa akan dilakukan secara bergelombang di kota-kota lain, antara lain Surabaya, Medan, dan Makassar.

Dominasi Telkomsel dan Indosat memang tak terbantahkan. Keduanya menguasai lebih dari 80 persen pangsa pasar seluler di Tanah Air dan diyakini menjadi biang keladi di balik tingginya harga. Penelitian berskala global oleh Morgan Stanley menunjukkan tarif rata-rata per menit jasa seluler Indonesia cuma lebih murah dibanding Australia. Data Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi pun memperlihatkan tarif seluler intraoperator kita pada waktu-puncak termasuk paling tinggi di Asia.

Namun demikian, perlu digarisbawahi bahwa sokongan kami terhadap gugatan class action tersebut tak memupuskan kritik terhadap keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha terbaru. Lebih dari Temasek, menurut hemat kami, adalah pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas di Telkomsel dan Indosat yang patut dimintai tanggung jawabnya atas karakter pasar seluler kita yang oligopolistis. Adalah pemerintah sendiri yang menawarkan dan menjual saham Telkomsel dan Indosat ke dua anak perusahaan Temasek, SingTel dan STT, dua tahun setelah UU Antimonopoli disahkan. Terlebih lagi, di balik perkara ini, kami mencium bau sangit yang meruap dari vested interests kelompok bisnis dan politik tertentu. Kami berharap, gugatan class action Mikha cs. tak bertemali dengan berbagai kepentingan terselubung di atas.

Di mata kami, gugatan class action itu membuka jalan ke arah tegaknya hak-hak konsumen—yang telah sekian lama tak berdaya di bawah kungkungan praktek monopoli—di sektor-sektor yang berkait dengan hajat hidup orang banyak. Selama ini, meski telah membayar mahal dan menikmati layanan di bawah standar, kita paling hanya bisa menggerutu saat saluran telepon Telkom putus atau mendapati air PAM yang bau. Beroleh layanan “byar-pet” khas PLN, kita hanya kuasa menyulut lilin sembari bersungut-sungut. Padahal, menurut catatan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, di tahun 2005 tarif dasar listrik di negeri ini masuk kategori kedua tertinggi di wilayah ASEAN, setelah Filipina.

Sebagaimana kita telah mahfum, monopoli cenderung merugikan konsumen. Ia mendistorsi pasar, membubungkan harga dan memerosotkan kualitas layanan. Karena itulah, peran pemerintah untuk mendobraknya menjadi penting. Di Amerika Serikat, misalnya, pada 1996 Kongres menghantam monopoli Bell dengan mengesahkan UU Telekomunikasi yang baru. Bell dipaksa membuka jaringan mereka supaya bisa diakses operator-operator lokal. Hasilnya, tarif telepon, termasuk seluler, di Negeri Paman Sam turun secara signifikan.

Karena itulah, tak hanya menyangkut tarif seluler, kami mendorong agar tuntutan perlindungan dan pemenuhan hak konsumen juga penting didesakkan di sektor-sektor lain. Pasar listrik, air bersih, dan layanan publik lainnya perlu diliberalisasi. Sedapat mungkin, dengan ikut menimbang daya beli kelompok yang tak mampu, praktek monopoli mesti terus dibongkar dan kompetisi makin digairahkan.


* * *

November 10, 2007

Kartu Tol Elektronik: Terobosan atau Beban?

Tajuk – Koran Tempo, 10 November 2007

Baru saja protes kenaikan tarif tol surut, kini meruap masalah baru. Soalnya kini di seputar tender proyek pengembangan sistem pembayaran tol elektronis (electronic toll collection, ETC) PT Jasa Marga dengan menggunakan teknologi Contactless Smart Card. Senin lalu, Menteri Negara Urusan Badan Usaha Milik Negara Sofyan Djalil meminta supaya proyek ini ditender ulang. Pasalnya, ia menolak pembebanan biaya administrasi kartu prabayar ini, sebesar 5 persen dari nilai pembayaran tol, kepada masyarakat pengguna. Jasa Marga lah, kata Menteri Sofyan, yang harus menanggung biaya itu.

Kami tentu bersuka cita dengan terobosan ini. Penerapan ETC adalah langkah maju dalam pengelolaan jalan tol di tanah air. Diawali di Bergen, Norwegia pada 1986 silam, sistem ini telah diaplikasikan di banyak negara maju maupun berkembang seperti Filipina dan Brasil.

Sistem ini menawarkan solusi bagi satu persoalan menjengkelkan: kemacetan di ruas tol, yang salah satunya diakibatkan penyumbatan di gerbang pembayaran. Dengan teknologi ETC, biaya tol didebit otomatis saat kendaraan melaju melewati gerbang, sehingga waktu transaksi bisa dipangkas menjadi kurang dari dua detik. Ini jauh lebih cepat dibanding waktu minimum tujuh detik yang diperlukan jika pengendara membayar dengan uang pas. Manfaat lain, sistem ETC juga mengurangi resiko kebocoran pendapatan Jasa Marga akibat tipu-muslihat penjaga gerbang tol.

Yang mengusik kami adalah soal tambahan 5 persen biaya administrasi itu. Beban yang akan ditimpakannya ke pundak konsumen tidaklah sedikit. Coba kita hitung.

Proyek ini akan diterapkan di dua jalur: Cawang-Tomang-Cengkareng dan Padalarang-Cileunyi. Selama tahun 2006 kedua ruas ini menghasilkan pendapatan hampir Rp 900 miliar. Anggaplah kita mengacu pada data tahun itu dan bahwa seperlima pembayaran menggunakan Smart Card. Berdasarkan asumsi konservatif ini saja, masyarakat pengguna tol harus mengeluarkan sedikitnya Rp 9 miliar dana tambahan dalam setahun.

Lebih mendasar lagi, di sini ada soal pemenuhan hak kita sebagai konsumen dan kewajiban Jasa Marga selaku pengelola jalan tol. Kita membayar tol untuk menikmati jasa yang ditawarkan pengelola: bisa melaju di jalur bebas hambatan dan, karenanya, menghemat waktu. Jasa Marga kerap gagal memenuhi kewajiban mendasarnya ini.

Karena itulah, penerapan metode ETC harus dilihat sebagai upaya Jasa Marga menyudahi wanprestasinya selama ini. Pemanfaatan sistem itu mesti diposisikan sebagai pemenuhan kewajiban Jasa Marga atas janji-janjinya memperbaiki layanan tol—termasuk yang dinyatakan dengan berbunga-bunga belum lama ini ketika drastis menaikkan tarif tol.

Yang terakhir, pengenaan biaya administrasi akan menjadi disinsentif bagi pengguna jalan tol untuk beralih ke sistem pembayaran ETC. Jika sistem ini ditujukan mengatasi kemacetan, yang perlu dirancang justru adalah berbagai struktur insentif yang bisa membuat pengguna jalan tol berduyun-duyun menggunakannya. Di Amerika Serikat, misalnya, sistem serupa bernama E-ZPass menawarkan tarif diskon bagi para komuter dan jam-jam tertentu yang padat.

Pendek kata, penolakan Menteri Sofyan adalah penolakan kami juga.

* * *