August 25, 2007

DPR yang Anti-Korupsi, Mungkinkah?

Opini - Koran Tempo, Senin, 27 Agustus 2007

Oleh: Karaniya Dharmasaputra

*) Wartawan Tempo, peneliti tamu Transparency International Indonesia, karaniya@gwu.edu

Pengalaman banyak negara menunjukkan parlemen, sebetulnya, bisa menjadi pilar alternatif dalam pemberantasan korupsi. Sayangnya, potensi ini kerap diabaikan. Seperti yang sedang kita saksikan di tanah air, upaya membenahi tata kelola pemerintahan sampai hari ini masih dipusatkan di dua cabang pemerintahan, yakni lembaga eksekutif dan yudikatif. Korupsi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) nyaris belum tersentuh reformasi.

Padahal, di atas kertas, dalam sistem demokrasi, parlemen adalah tempat di mana warga negara bisa menggantungkan harapan mereka akan terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik. Hal ini terkait dengan empat fungsi pokok legislator, yakni: memproduksi undang-undang untuk mengontrol korupsi (fungsi legislasi), memastikan pemerintah menjalankan kewenangannya secara akuntabel (pengawasan), melindungi kepentingan konstituen dari dampak negatif korupsi (representasi), dan yang tak kalah penting, menciptakan kemauan politik untuk memerangi praktek tercela ini.

Tak kurang, posisi strategis ini telah dipertontonkan di negara-negara yang bahkan masuk kategori paling korup sejagat. Kenya dan Uganda adalah contohnya.

Skandal Goldenberg—pembobolan Bank Sentral Kenya senilai 24 triliun shilling dan merupakan kasus korupsi terbesar dalam sejarah Sub-Sahara Afrika —pertama kali dibongkar oleh dua anggota parlemen Kenya (Legislative Council of Kenya, LEGCO) dari partai oposisi. Selain itu, perang melawan korupsi di negara ini tak mungkin dilepaskan dari peran penting Komisi Kombo, komisi anti-korupsi di parlemen yang dinamai menurut ketuanya yang amat disegani, Musikari Kombo. Di tahun 1975, Legislator J.M. Kariuki bahkan sampai dibunuh karena begitu gigih membongkar korupsi di tubuh pemerintahan (Matiangi 2006).

Lembaran sejarah Uganda juga mencatat peran penting anggota parlemen mereka. Bahu membahu bersama pers dan LSM, sejumlah anggota parlemen dari partai oposisi tanpa ampun menelanjangi skandal korupsi dua menteri yang amat berkuasa di negeri itu, Menteri Pendidikan Dasar Brigjen Jim K. Muhwezi dan Menteri Keuangan Sam Kutesa, dan memaksa mereka turun dari jabatannya (Smith 2006).

Sayang seribu sayang, DPR-RI bukanlah LEGCO. Ketimbang dilihat sebagai alternatif solusi, wakil rakyat di Senayan kini dicibir sebagai biang praktek tercela ini. Survey Barometer Korupsi Global 2006 Transparency International Indonesia menyimpulkan mayoritas responden mendudukkan lembaga legislatif sebagai institusi terkorup di seluruh negeri. Liputan pers berkali-kali mengungkap betapa penyuapan dan pemerasan telah sedemikiran rupa membengkokkan proses legislasi di Republik.

Tapi kita tak pernah boleh kehilangan harapan. Setidaknya, ada tiga peluang yang bisa dipertimbangkan buat merumuskan upaya reformasi ke depan.

Pertama, apa yang berlangsung remang-remang di DPR perlu dibuat terang-benderang. Salah satu yang krusial adalah membuat proses legislasi setransparan mungkin. Sekarang, karena tak ada sistem informasi publik yang memadai, kita tak pernah bisa tahu siapa wakil rakyat yang mendukung atau menolak pasal tertentu dalam suatu pembahasan RUU.

Sistem "musyawarah mufakat" yang kini diberlakukan dalam setiap pembahasan RUU pun musti diubah jadi pemungutan suara secara terbuka. Proses lobi yang kini berlangsung di bawah meja harus diangkat ke permukaan dengan meregulasinya, sebagaimana yang dilakukan di Amerika Serikat melalui Lobbying Act. Dari situ, bisa diharapkan tercipta suatu mekanisme insentif dan hukuman yang lebih riil antara wakil rakyat dan konstituennya.

Peluang kedua datang dari konsep "titik veto berganda (multiple veto points),” yakni terdistribusinya kekuasaan legislasi ke dalam berbagai sentrum. Dalam sistem pemerintahan federal Amerika, misalnya, Senat, House of Representative (DPR) dan Presiden berbagi kewenangan dalam pengesahan atau pemblokiran suatu RUU, sehingga tak satupun dari ketiganya bisa memonopoli. Susan Rose-Ackerman (1999), profesor hukum dan politik Universitas Yale, Amerika Serikat, berpendapat sistem ini—di luar sisi negatifnya, misalnya bias pada status quo—cenderung membuat korupsi dalam proses legislasi menjadi sangat mahal dan beresiko, dan pada akhirnya meminimalkan tingkat korupsi.

Di tanah air, fenomena ini kita lihat dengan lahirnya Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai alternatif untuk menantang keabsahan produk legislasi DPR (yang berkait dengan konstitusi). Dalam hal ini, ide perluasan kewenangan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) penting didukung. Jika kelak berhasil dijadikan sebagai institusi seperti Senat Amerika, misalnya, DPD bisa menjadi kekuatan pengimbang kekuasaan DPR yang kini begitu dominan dan korup. Dari situ, hukum ekonomi-korupsi kita harapkan akan mulai bicara: kompetisi naik, biaya korupsi turun.

Faktor ketiga adalah sokongan dan jaringan internasional bagi anggota DPR yang berkomitmen memerangi korupsi. Saya yakin kaum ini bukan tak ada, meski jumlahnya memang relatif kecil. Salah satu jaringan yang patut dipertimbangkan adalah Global Organization of Parliamentarians Against Corruption (GOPAC). Dideklarasikan di Ottawa, Kanada, pada 2002 silam, GOPAC merupakan jaringan global anggota parlemen yang menyediakan informasi, perangkat, pelatihan, advokasi, dan berbagai upaya lain untuk menyokong upaya anggotanya memerangi korupsi. Melibatkan wakil rakyat yang masih punya integritas ke dalam jaringan ini, bisa meningkatkan insentif, keberanian dan kemampuan teknis mereka untuk mulai ikut memerangi korupsi, termasuk membersihkan DPR itu sendiri.

Mual sudah kita melihat sepak-terjang para wakil rakyat yang tak lagi peduli etika. Karenanya, tuntutan mereformasi parlemen tak bisa tidak musti segera didesakkan.

* * *