October 19, 2007

Memburu Kemakmuran

Tajuk – Koran Tempo, 19 Oktober 2007

Kabar menarik itu datang dari Hongkong. Selasa kemarin, sebuah laporan bertajuk Asia-Pacific Wealth 2007 dirilis. Isinya menyebutkan: di tahun kemarin, jumlah warga Indonesia yang memiliki kekayaan sedikitnya sejuta dolar Amerika mencapai 20 ribu orang. Jumlah ini bertambah 16,7 persen dibanding tahun 2005 dan merupakan angka pertumbuhan ketiga tertinggi di kawasan ini, setelah Singapura dan India.

Jika kekayaan tersebut halal diperoleh, itu tentu kabar baik. Boleh jadi, ini pertanda perekonomian kita yang tengah kembali beranjak naik.

Gambaran optimistis itu pula yang kita lihat dari menurunnya grafik kemiskinan. Kalau berpegang pada hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional, tahun ini jumlah kaum papa berkurang 2,13 juta dari total 39,3 juta di tahun sebelumnya.

Namun, saat kita berpuas diri masihlah jauh. Jumlah penduduk miskin di negeri ini tetap kelewat banyak. Kesenjangan kaya-miskin di tanah air pun cukup lebar, 34,2 menurut indeks Gini 2002. Meski lebih baik ketimbang Thailand atau Vietnam, angka ini jauh di atas kebanyakan negara maju yang berada di kisaran 10.

Karena itu, tak bosan kami mendesak pemerintah supaya lebih tegas memerangi korupsi. Merosotnya skor kita dalam Indeks Persepsi Korupsi-Transparansi Internasional tahun ini—dari 2,4 tahun lalu menjadi 2,3—adalah lampu kuning yang tak boleh diabaikan.

Sebagaimana ditunjukkan oleh banyak studi, korupsi mengganjal pertumbuhan dan merintangi investasi. Lebih penting lagi, praktek tercela itu paling keras memukul kaum miskin. Merampas akses kelompok tak berpunya pada berbagai layanan vital seperti pendidikan dan kesehatan, korupsi berperan langsung dalam melebarkan kesenjangan. Pemberantasan korupsi adalah variabel determinan supaya kita melihat suatu keadilan: orang jadi kaya bukan karena mencoleng, sementara yang miskin bisa bangkit karena tak dirampas haknya.

Kami menyadari pemerintah tengah menggelar berbagai upaya untuk mengentaskan kemiskinan. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat, misalnya, digelar dengan ambisi mengangkat pendapatan 16 juta warga miskin dan membuka lapangan kerja bagi 24 juta orang. Kami mendesak agar program-program penting seperti ini dipastikan tak hanya mengkilat di atas kertas.

Untuk itu, ada baiknya kita menyimak saran Joseph Stiglitz. Peraih Nobel Ekonomi ini baru saja menganjurkan kita untuk mempelajari “keajaiban ekonomi Malaysia.” Dengan menyimpan dulu segala kejengkelan kita terhadap negeri jiran, coba kita pelajari capaian hebat mereka dalam memburu kemakmuran.

Merdeka setengah abad lalu sebagai salah satu negara paling miskin, Malaysia kini menjelma menjadi salah satu perekonomian yang tumbuh paling pesat di dunia—bersama Cina, Taiwan, Korea Selatan, dan Thailand. Lebih hebat lagi, mereka berhasil memotong tingkat kemiskinan 2,8 persen setahun dan memasang target akan menghapus kemelaratan dalam tiga tahun ke depan. Malaysia juga sukses mengatasi kesenjangan kaya-miskin, yang dicatat Stiglitz, dicapai “bukan dengan menarik yang di atas ke bawah, tapi dengan mendorong yang di bawah ke atas.” Segala capaian itu diraih berkat sejumlah kebijakan jitu: investasi besar-besaran di sektor pendidikan dan teknologi, mendorong peningkatan tabungan, dan kebijakan afirmatif yang efektif.

Nasionalisme dan patriotisme kita yang belakangan bergemuruh hebat, ada baiknya kita arahkan untuk menjawab satu pertanyaan ini: jika Malaysia bisa, kenapa kita tidak?

* * *

No comments: