October 2, 2007

Jangan Pertaruhkan Martabat Dewan

Tajuk Koran Tempo, 18 September 2007

Perdebatan tentang perlu tidaknya Nurdin Halid diberhentikan sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat menyimpan suatu keanehan. Persoalan itu, di mata kami, sungguh sebening kaca. Nurdin, yang baru divonis bersalah oleh Mahkamah Agung karena menyelewengkan dana pendistribusian minyak goreng Bulog senilai Rp 169,7 miliar, jelas tak patut menyandang predikat terhormat sebagai wakil rakyat.

Sehari setelah dilantik menjadi anggota Dewan dari Fraksi Golkar, Nurdin dihukum Majelis Hakim untuk dikerangkeng selama dua tahun dan membayar denda Rp 30 juta. Hari ini, statusnya di parlemen akan diputuskan dalam rapat harian Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar.

Satu langkah hukum memang masih tersisa untuk sang terpidana. Jika memiliki bukti baru yang mendukung, ia masih bisa mengajukan peninjauan kembali. Artinya, jika langkah itu dia tempuh, Nurdin bisa berdalih bahwa putusan itu belum berkekuatan hukum tetap. Patut kita catat, selama ini dalih legalistik formal seperti itu selalu diajukan para politisi dan pejabat yang sedang berurusan dengan hukum untuk bertahan di kursinya.

Argumen semacam ini, kami khawatir, sedang menuju ke satu arah: standar etik dan kultur politik bangsa ini sedang mengalami erosi besar-besaran. Dua faktor itu, menurut keyakinan kami, seharusnya senantiasa ditempatkan di atas argumen hukum formal.

Coba kita berkaca pada budaya politik Jepang. Kita menyaksikan betapa politisi Negeri Sakura memilih langsung mengundurkan diri setelah aibnya terbongkar ke muka publik. Salah satu contohnya baru kita lihat Rabu pekan lalu ketika Perdana Menteri Shinzo Abe meletakkan jabatannya. Keputusan ini dibuat di bawah tekanan partainya, Partai Demokratik Liberal (LDP), berkait dengan rencana sebuah media membongkar skandal penggelapan pajak Abe. Mei sebelumnya, Menteri Pertanian Toshikatsu Matsuoka bahkan memilih /harakiri/. Penyebabnya, “hanya” karena ia dipergoki telah menggelembungkan pengeluaran kantor dan tak mengumumkan sumbangan politik yang diterimanya.

Sungguh kontras fenomena itu dengan apa yang kita saksikan di tanah air. Politisi negeri ini, jangankan sekadar dibongkar aibnya di media massa, bahkan setelah ditetapkan sebagai terdakwa dan terpidana pun masih tampil penuh percaya diri di muka publik, berpesta ke sana-kemari, dan kukuh bertahan di kursinya.

Tambahan lagi, catatan hidup Nurdin tak seputih kapas. Berulang kali ia dililit berbagai perkara kriminal, meski selalu berhasil lolos. Pada 2004 ia sempat menjadi tersangka kasus penggelapan puluhan ribu ton gula impor ilegal. Tujuh tahun sebelumnya, dia sempat ditahan dan diadili dalam kasus penggelapan dana simpanan wajib petani cengkeh sebesar Rp 115 miliar.

Karena itu, pernyataan tegas Ketua Umum Partai Golongan Karya Jusuf Kalla yang tak akan melindungi sang terpidana, tentu kita dukung. Status Nurdin adalah pertaruhan martabat parlemen kita—yang sudah sedemikian compang-camping dikoyak berbagai isu korupsi kronis. Pemecatannya, mudah-mudahan, akan menjadi pertanda berakhirnya budaya politik yang telah lama membuat kita merasa risih.

* * *

No comments: