October 2, 2007

Birma, Bukan Myanmar

Tajuk - Koran Tempo, 29 September 2007

Kali ini kami tak sepakat dengan Shakespeare. Nama, dalam kasus ini, menjadi sesuatu yang prinsipiil. Buat kami, negeri tetangga yang tengah bergolak menuntut hak demokrasinya itu bernama Birma, bukan Myanmar.

Negeri Seribu Pagoda terlahir merdeka dengan nama Republik Sosialis Persatuan Birma. Namun, di tahun 1988, tentara melancarkan kudeta, membentuk junta militer yang memerintah dengan tangan besi, lalu mengganti nama negeri nan permai ini menjadi Myanmar.

Dewan Pembangunan dan Ketenteraman Negara (SPDC), junta militer yang kini dipimpin Jenderal Tan Shwe, memberangus demokrasi dan menindas oposisi. Pemilu parlemen 1990, yang dimenangkan partai oposisi Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), dibatalkan. Padahal, NLD meraih kemenangan telak—mereka merebut hampir 80 persen dari jumlah kursi yang diperebutkan. Para pemimpinnya dijebloskan ke penjara. Sampai hari ini, telah 12 tahun Sekretaris Jenderal NLD sekaligus peraih Nobel Perdamaian, Aung San Suu Kyi, mendekam di tahanan rumah.

Sejak itu lah, nama “Birma” mengkristal sebagai simbol perlawanan kelompok pro-demokrasi, dan “Myanmar” menjadi perlambang tirani. Di Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang mendasarkan langkahnya pertama-tama pada asas kedaulatan masing-masing negara, memang nama Myanmar yang resmi dipakai. Tapi, negara-negara demokratis Barat, seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan Irlandia, tak mengakuinya. Sejumlah media di negara-negara itu, seperti BBC dan Financial Times pun secara konsisten menggunakan nama Birma dalam pemberitaan mereka. Di garis ini pula lah kami ikut berdiri.

Buat kami, sekali lagi, persoalannya lebih dari sekadar sebuah nama. Menonton ribuan warga dan bhiksu Birma tumpah ke jalan, ditembaki tentara, terluka, dan sepuluh diantaranya tewas; menyeret kenangan kita pada masa-masa perjuangan reformasi di tahun 1998—demonstran yang menyemut, Jakarta yang hitam hangus, panser yang menderu, dan Presiden Suharto yang lengser terpaksa.

Sejak itu, kita hidup lebih baik, setidaknya secara politik. Dengan segala eksesnya, kita merasakan betapa leganya menghirup udara kebebasan di alam demokrasi. Kebebasan pers ditegakkan—Majalah Tempo yang diberangus rezim otoriter Suharto bisa terbit kembali, dan koran ini pun lahir bersama berbagai media lain yang tumbuh menjamur. Kita kini bisa memilih langsung presiden, gubernur, dan walikota—satu hal yang sudah kita anggap lumrah, tapi masih jadi mimpi buat para biksu yang sedang berdemonstrasi di jalan-jalan Ragoon sana. Di dunia internasional, apalagi setelah demokrasi Thailand kembali terjerembab, Indonesia digadang-gadang sebagai negeri paling demokratis di Asia Tenggara.

Di atas rahmat demokrasi itu lah, seyogyanya Pemerintah mengambil peran lebih aktif dan bersikap lebih tegas dalam menyokong persemaian demokrasi di Birma. Sekadar himbauan, kecaman, dan manuver verbal tak lagi memadai. Rezim Tan Shwe sudah lama menulikan telinganya pada tuntuntan demokratisasi dari dunia internasional. Langkah dan desakan yang lebih kongkrit dalam kerangka ASEAN, misalnya, amat diperlukan. Salah satu bentuknya bisa seperti yang pernah disuarakan mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad. Di tahun 1993 silam, ia mengancam akan memprakarsai petisi untuk mengeluarkan Birma dari ASEAN sehubungan tindakan represif junta militer terhadap Suu Kyi.

Keperluan akan adanya tekanan keras seperti itu, perlu kembali didesakkan, supaya Myanmar kembali menjadi Birma.

* * *

No comments: