December 11, 2006

Korupsi KPU: Perlu Pemerintahan Pihak Ketiga

Oleh: Karaniya Dharmasaputra*
Koran Tempo, 20 Mei 2005

Sejatinya, tak ada yang istimewa amat dengan kasus korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU). Selain soal kesigapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam membongkarnya, kita mestinya tak perlu terperanjat menyaksikan penyidik KPK membui satu persatu petinggi KPU. Sejak jauh hari, kabar tak sedap di seputar lembaga ini telah beredar luas menjadi sebuah rahasia umum. Wartawan yang bertugas meliput di kantor KPU sudah lama meributkannya. Para pengusaha telah kelewat mahfum dengan praktek lipat-melipat itu. Jutaan pemilih sudah menebaknya begitu tinta di telunjuk mereka langsung pupus seusai mencoblos.


Yang lebih menarik sebetulnya adalah sebuah kenyataan pahit di baliknya. Para pemimpin KPU itu tak datang dari kalangan birokrat Orde Baru, yang katanya telah mendarah daging dengan korupsi. Mereka berasal dari kalangan yang selama ini dicitrakan sebagai “kaum para reformis”: profesor, akademisi, aktivis LSM; beberapa di antaranya bahkan pernah gagah menjadi oposan Orde Baru.

Selama ini berkembang harapan bahwa dengan mengalirnya darah segar dari luar lingkaran Orde Baru ke tubuh pemerintahan, maka korupsi akan mulai terkikis. Korupsi KPU membuyarkan mimpi itu. Tak hanya dalam kasus KPU, bisa dipastikan korupsi tetap meraja lela di berbagai lembaga pemerintahan baru yang dibentuk untuk menjawab harapan reformasi. Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) bisa menjadi contoh serupa, dengan skala yang jauh lebih mengangakan.

Karena itu, telah tiba saatnya bagi kita untuk mulai mengevaluasi pendekatan anti-korupsi yang selama ini digunakan. Selama ini, kita cenderung hanya memanfaatkan model konvensional dengan memusatkan titik fokus di level pemerintah/negara. Dalam model ini, di pundak aparatur negara lah tugas memerangi korupsi utamanya diembankan. Caranya, dengan membentuk sebuah badan anti korupsi yang memiliki kewenangan luas dan menetapkan berbagai regulasi. Contoh sukses dari pendekatan ini adalah Independent Commission Against Corruption (ICAC), badan anti korupsi Hong Kong yang legendaris itu.

Masalahnya, ini yang sering dilupakan orang, saat ICAC dibentuk di tahun 1974, Hong Kong memiliki kekayaan yang tak kita miliki saat ini: sistem hukum dan peradilan yang bersih. Meski Kepolisian Hong Kong sangat korup—ICAC dibentuk setelah massa menggelegak marah karena Komisaris Kepolisian Hong Kong, Peter Godbers, dipergoki menyimpan uang haram senilai HK$ 4,4 juta—para hakim dan jaksa di negara itu dijunjung tinggi integritasnya.

Tapi bagaimana dengan Indonesia, yang jaksa, polisi, dan hakimnya tanpa malu-malu berselingkuh dengan taipan-mafia? Bagaimana kalau yang kita hadapi adalah apa yang disebut Mathias Koenig-Archibugi (2002) sebagai “the un-willing government”, pemerintah yang tak punya cukup niat untuk memberantas korupsi, atau “the failed state”, negara-gagal yang tak punya cukup daya dalam menghadapi kedigdayaan para koruptor kakap? Atau, bagaimana kalau korupsi di negara ini sudah mencapai sebuah level yang disebut Roy Hodgson sebagai “political-criminal nexus” (hubungan simbiosis mutualisma antara para kriminal dan politisi) dan “political-business nexus” (kondisi yang ditandai dengan kegagalan membedakan antara mana yang publik dan mana yang privat, antara apa yang kriminal dan apa yang legal) (Williams, 2002)? Bagaimana kalau kita, mau tak mau, musti menganggap sebagian besar aparatur pemerintah sebagai pembokong ketimbang penyokong upaya memberantas korupsi?

Kegigihan KPK dalam membongkar korupsi KPU terang perlu diacungi jempol. Badan itu jelas perlu diberdayakan, sumber dayanya perlu diperkuat, dan bujetnya tak boleh disabot. Tapi, mengandalkan KPK semata dalam memerangi korupsi di negara kelima terkorup sejagat ini jelas jauh dari memadai (menurut indeks Transparency International, kita merosot dari posisi ke-6 pada tahun 2003). Korupsi KPU adalah satu dari sekian bukti bahwa pencolengan uang negara sudah sedemikian sistemiknya. Korupsi di negeri ini tak lagi sehitam-putih dicitrakan dulu, sebatas pada mereka yang dicap birokrat Orde Baru. Korupsi telah merambah politisi, pemuka LSM, bahkan termasuk mereka para cendekia. Korupsi KPU memaksa kita berpikir bahwa model pemberantasan korupsi yang melulu menempatkan pemerintah sebagai titik sentral tak lagi memadai.

Kita butuh alternatif lain.

Satu alternatif adalah dengan memanfaatkan potensi di balik dana pinjaman luar negeri. Mekanismenya kira-kira sebagai berikut. Lembaga donor perlu didesak supaya mengucurkan dana dengan mengenakan sejumlah prasyarat anti-korupsi yang ketat dan terperinci (conditionalities). Termasuk di dalamnya adalah prasyarat menerapkan model pemerintahan pihak ketiga (the third party government), bahwa proyek layanan publik yang dibiayai oleh pinjaman tersebut harus dikelola oleh pihak LSM atau swasta yang memiliki standar good governance tertentu.

Model ini menjanjikan sebuah terobosan agar masyarakat dapat segera menikmati layanan publik yang dikelola secara akuntabel. Dengan model ini, secara formal dana tetap dikucurkan melalui pemerintah. Di atas kertas, pemerintah juga tetap berstatus sebagai pemilik proyek. Tapi, dalam pelaksanaannya, pemerintah akan kehilangan kontrol, karena si pelaksana proyek lah yang praktis menguasai informasi, teknologi, dan jejaring kerja, selain mengenyam kewenangan dan diskresi yang luas dalam implementasi. Dengan kata lain, model ini membuka peluang untuk “men-diskoneksi” pengelolaan sektor layanan publik dengan lembaga pemerintahan yang korup. Di Amerika Serika dan Eropa Barat, model ini kian berpengaruh, dan telah diterapkan bahkan dalam misalnya pengelolaan penjara.

Tapi nanti dulu, bukankah sektor swasta pun tak bebas dari korupsi? Karena itulah, hal lain yang penting dilakukan adalah mendorong sektor swasta kita untuk mengikatkan diri pada standar anti korupsi internasional. Salah satu bentuk pelibatan sektor swasta di bidang anti korupsi yang tengah mengemuka adalah apa yang disebut sebagai Global Compact. Ini adalah inisiatif PBB untuk melibatkan perusahaan swasta dalam menerapkan 10 prinsip penghormatan hak asasi manusia, perburuhan, lingkungan hidup, dan anti korupsi. Sejak diluncurkan pertama kali pada bulan Juli 2000 lalu, kesepakatan ini telah ditandatangani oleh 1998 perusahaan dari segala penjuru dunia, antara lain: ABN Amro, Volvo, dan Ericsson. Sayangnya, belum satupun perusahaan Indonesia yang menandatanganinya. Lebih sayang lagi, sampai sekarang pemerintahan SBY yang konon memprioritaskan anti-korupsi dalam program utamanya belum juga meratifikasi Konvensi Anti-Korupsi PBB.

Dalam kerangka itu, dua inisiatif bagus sebetulnya pernah dilakukan. Yang pertama adalah Gerakan Anti Suap yang dimotori Kadin, dan juga deklarasi pemimpin NU-Muhammadiyah untuk berjihad melawan korupsi. Kedua upaya itu perlu digulirkan lebih lanjut ke tahap implementasi, supaya tak berhenti sebagai seremoni belaka di halaman surat kabar.

* Wartawan, mahasiswa kebijakan publik, George Washington University, AS

No comments: