December 11, 2006

Hitam Putih Kartun Nabi dalam Pemberitaan Pers Kita

Oleh: Karaniya Dharmasaputra*
Koran Tempo, 8 Maret 2006

Amok telah surut. Kartun Nabi Muhammad yang sama sekali tak lucu dan tak patut itu sudah tak kurangnya lagi dikutuk. Sekarang saatnya bertanya. Benarkah insiden ini menjadi bukti kesekian dari benturan peradaban Islam-Barat/non Islam sebagaimana dikesankan dalam banyak pemberitaan pers kita?

Menurut saya, tidak.

Tengok satu contoh kecil ini. Beberapa pekan lalu, ketika amarah warga Muslim di seantero dunia sedang memuncak, Koran Tempo menurunkan sebuah berita di halaman muka. Dengan huruf besar-besar, judulnya ditulis dramatis, “Komunitas Muslim Denmark Cemas.” Isinya, mengesankan seolah-olah keselamatan umat Islam yang minoritas tengah terancam aksi kekerasan yang mungkin dilakukan warga non-Muslim.

Seberapa nyata ancaman itu? Benarkah masyarakat Denmark telah terbelah sedemikian rupa? Kenapa dalam tulisan itu, atas nama asas keberimbangan berita, tak juga dilaporkan tentang kecemasan dan keberatan serupa dari warga non-muslim?

Saya hanya bisa bertanya-tanya. Dan jawabannya datang kemudian, berselang sehari dua. Ratusan rakyat Denmark—yang Islam atau Kristen, yang kaukasian atau keturunan Arab—turun ke jalan menggelar aksi damai. Mereka berseru agar kemelut ini diselesaikan lewat dialog, dan supaya hubungan Denmark dengan umat Islam segera diperbaiki. Sebelum itu, hanya dalam tempo enam hari, situs “Rekonsiliasi Sekarang” yang diprakarsai Hans Kuttel, profesor Universitas Aalborg, Denmark, berhasil mengumpulkan 50 ribu dukungan dari berbagai kalangan, termasuk politisi, artis, dan penulis ternama di negeri itu.

Prancis menyediakan contoh yang lain. Sebagaimana ditulis Majalah Time, warga non Muslim dan politisi di negeri ini ikut turun ke jalan dalam aksi unjuk rasa yang digelar Persatuan Perhimpunan-perhimpunan Muslim, UAM 93. Fenomena ini dikuatkan sebuah jajak pendapat yang dilangsungkan awal Februari lalu di sana. Kesimpulannya: 54 persen responden menganggap media bersalah telah menerbitkan karikatur itu, dan 72 persen di antaranya menyatakan dapat memahami kemarahan warga Muslim.

Jelas, dunia masih punya stok toleransi dan akal sehat. Tapi sayangnya, peristiwa-peristiwa penting itu, yang memenuhi semua prasyarat kelayakan berita dan perlu diangkat untuk menyeimbangkan prahara ini dalam proporsinya, seperti tenggelam dalam arus utama “benturan antar peradaban” yang menyeret kebanyakan pers kita.

Duduk soalnya menjadi kian kabur setelah berbagai diskusi mengkutubkan isu “kebebasan pers ala Barat” di satu sisi dengan soal “penistaan agama” di sisi lain. Padahal, apa yang sesungguhnya terjadi, tidaklah sehitam putih itu.

Apa yang terjadi di Amerika Serikat menarik untuk dicermati. Di negeri ini, sebagaimana semua orang tahu, prinsip kemerdekaan berpendapat dijamin oleh konstitusi, oleh Amendemen Pertama. Preseden hukum juga meneguhkannya.

Dalam perkara Cantwell melawan negara bagian Connecticut (1940), Jesse Cantwell, penganut Saksi Yehova, didakwa jaksa telah menghina dua umat Katholik gara-gara memutar rekaman phonograph di pinggir jalan yang isinya menistakan Gereja Katholik Roma. Mahkamah Agung AS membebaskan Cantwell, dan menetapkan bahwa kebebasan beragama dan kemerdekaan berpendapat mendasari hak seseorang untuk menyerang perasaan orang lain (right to offend). Dalam putusannya, Hakim Owen J. Roberts, menulis, “... dari sejarah, warga bangsa ini telah memetik pelajaran, bahwa meskipun ada berbagai kemungkinan ekses dan penyalahgunaan, dalam jangka panjang prinsip-prinsip kemerdekaan ini amatlah penting bagi perkembangan opini dan tata laku yang positif, sebagai bagian kehidupan masyarakat di negara demokratis.”

Prinsip ini juga kukuh diyakini sejumlah wartawan Abang Sam. Februari lalu, pemimpin redaksi dan wartawan New York Press ramai-ramai mengundurkan diri, setelah penerbit mingguan itu memutuskan untuk tak memampangkan kartun Nabi Muhammad. Mereka menganggap kebijakan ini telah mengkhianati asas paling mendasar dari kebebasan berpendapat.

Toh, meski demikian, media-media utama di Amerika mengambil langkah yang sama dengan New York Press. Harian Washington Post menilai kartun Nabi Muhammad bertentangan dengan standar pemberitaan mereka dan karena itu memilih tidak menerbitkannya. Stasiun televisi CBS, NBC, dan CNN juga begitu. CNN menghitamkan karikatur itu saat menayangkan gambar koran-koran Eropa dan menjelaskan bahwa kebijakan itu diambil agar tak menyinggung perasaan pemirsa mereka. Kepada harian Philadelphia Inquirer, direktur foto Associated Press, kantor berita terbesar di Amerika, menerangkan, “Kami punya kebijakan untuk tidak menyebarkan materi yang bisa menyinggung perasaan orang—bukan saja tentang kartun itu, tapi juga gambar kelamin yang telanjang, close-up ekstrim terhadap bagian tubuh tertentu, gambar yang mempertunjukkan kata-kata cacian, dan sebagainya.”

* * *

Amok telah surut. Kini saatnya wartawan dan pemerhati media di tanah air mulai bertanya. Sudah pas kah pers kita memainkan perannya dalam kemelut agama seperti ini? Sudahkah media kita menyajikan kabar berimbang yang dingin dan menjernihkan situasi, bukan malah memperkeruhnya dengan mengabarkan informasi satu sisi, semata demi mengejar efek dramatik pemberitaan? Kenapa berbagai peristiwa yang membawa pesan toleransi tersisih oleh luapan kabar tentang kebencian dan konflik agama?

Studi yang obyektif diperlukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu. Tapi rasanya, dunia tidaklah seterbelah seperti yang kerap dikesankan kebanyakan media kita.

* Wartawan Tempo, mahasiswa kebijakan publik George Washington University, AS.

1 comment:

Anonymous said...

Siap, Jendral Karaniya !
Merintis keadilan, perdamaian dan kesejahteraan :)