December 21, 2007

Menyorot Seleksi Pimpinan KPK

Tajuk – Koran Tempo, 7 Desember 2007
Oleh: Karaniya Dharmasaputra

Sungguh mengecewakan hasil seleksi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 2007-2011. Dua hari lalu, wakil rakyat di Komisi Hukum menulikan diri dari tuntutan khalayak dengan kukuh memilih jaksa Antasari Azhar sebagai ketua baru KPK—lembaga tumpuan harapan kita untuk mewujudkan Indonesia yang lebih bersih.

Sejak awal, proses seleksi Antasari telah menuai kritik. Rekam jejak Direktur Penuntutan Kejaksaan Agung ini dinodai paling banyak laporan negatif. Kepada Komisi Pemantau Peradilan, sejumlah pengacara, pengusaha, politisi, dan wartawan menuding Antasari pernah terlibat pemerasan dan penyuapan. Laporan kekayaannya pun disorot. Menerima gaji Rp 5,5 juta sebulan, ia mengaku berharta Rp 3,5 miliar. September lalu, usai diwawancarai ihwal pencalonannya, sang ketua KPK terpilih menawari /Tempo/ apa yang disebutnya “uang terima kasih” berbentuk lembaran dolar Amerika.

Blunder ini tak lepas dari peran Panitia Seleksi yang ditunjuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyaring 10 nama calon, sebelum kemudian disodorkan ke parlemen. Meski telah menerima berbagai catatan di atas, Panitia Seleksi yang sejatinya punya kewenangan penuh untuk mencoret nama kandidat yang diragukan integritasnya, memilih tetap meloloskannya. Ini amat disayangkan, mengingat Panitia Seleksi beranggotakan sejumlah “nama besar” yang diagung-agungkan publik. Mereka antara lain: Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Taufik Effendi, Adi Andoyo, Syafii Maarif, Felia Salim, Daniel Sparringa, Rhenald Kasali, Komaruddin Hidayat, Ichlasul Amal, Hikmahanto Juwana, dan Fajrul Falaakh.

Metode seleksi ini harus tajam dievaluasi dan diperbaiki. Satu hal yang patut kita pertanyakan adalah kontradiksi di balik mekanisme yang kini berlaku. DPR adalah salah satu lembaga paling korup di negeri ini, tapi DPR itu juga lah yang diberi mandat untuk memilih pemimpin komisi antikorupsi.

Selama ini parlemen tak henti dirundung skandal—mulai dari kasus dana nonbujeter Departemen Kelautan dan Perikanan sampai aliran duit Bank Indonesia; dan KPK lah yang gencar mengusutnya. Kepada koran ini, Wakil Ketua KPK sekarang, Amien Sunaryadi, pernah mengutarakan cita-citanya untuk memenjarakan para koruptor di Senayan, dan Dewan langsung menebas peluangnya untuk melanjutkan tugas di periode mendatang. Tak dibutuhkan seorang Albert Einstein untuk menyimpulkan bahwa politisi kita memang berkepentingan secara langsung untuk mengerdilkan KPK.

Untuk itu, perlu kiranya ditimbang berbagai alternatif lain. Salah satunya adalah seperti yang diterapkan Komisi Independen Antikorupsi Hongkong (ICAC). Berbeda dengan KPK, struktur ICAC didesain agar sesteril mungkin dari kontaminasi kepentingan politik parlemen.

Meski demikian, dunia belumlah kiamat. Kaum reformis, aktivis gerakan antikorupsi, pers, dan tokoh masyarakat madani lainnya perlu segera merapatkan barisan. Langkah bersama penting segera dirumuskan untuk mengantisipasi gejala yang kini dikhawatirkan mengarah pada penggembosan KPK. Walau kita masih harus melihat kinerja pemimpin KPK mendatang, ada baiknya kita juga mulai mencari peluang perbaikan di tempat-tempat lain.

* * *

November 29, 2007

Menggugat Monopoli

Tajuk – Koran Tempo, 30 Nov 2007
Oleh: Karaniya Dharmasaputra

Berita gugatan class action terhadap Telkomsel dan Indosat adalah hal yang, meminjam motto Majalah Tempo, “enak dibaca dan perlu.” Akhir Oktober lalu, Mikha Melviana dan sejumlah orang lainnya mendaftarkan gugatan terhadap dua perusahaan telepon seluler itu di Pengadilan Negeri Bekasi. Para penggugat menyoal peran kedua operator itu pada mahalnya tarif seluler di negeri ini. Menurut kabar, gugatan serupa akan dilakukan secara bergelombang di kota-kota lain, antara lain Surabaya, Medan, dan Makassar.

Dominasi Telkomsel dan Indosat memang tak terbantahkan. Keduanya menguasai lebih dari 80 persen pangsa pasar seluler di Tanah Air dan diyakini menjadi biang keladi di balik tingginya harga. Penelitian berskala global oleh Morgan Stanley menunjukkan tarif rata-rata per menit jasa seluler Indonesia cuma lebih murah dibanding Australia. Data Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi pun memperlihatkan tarif seluler intraoperator kita pada waktu-puncak termasuk paling tinggi di Asia.

Namun demikian, perlu digarisbawahi bahwa sokongan kami terhadap gugatan class action tersebut tak memupuskan kritik terhadap keputusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha terbaru. Lebih dari Temasek, menurut hemat kami, adalah pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas di Telkomsel dan Indosat yang patut dimintai tanggung jawabnya atas karakter pasar seluler kita yang oligopolistis. Adalah pemerintah sendiri yang menawarkan dan menjual saham Telkomsel dan Indosat ke dua anak perusahaan Temasek, SingTel dan STT, dua tahun setelah UU Antimonopoli disahkan. Terlebih lagi, di balik perkara ini, kami mencium bau sangit yang meruap dari vested interests kelompok bisnis dan politik tertentu. Kami berharap, gugatan class action Mikha cs. tak bertemali dengan berbagai kepentingan terselubung di atas.

Di mata kami, gugatan class action itu membuka jalan ke arah tegaknya hak-hak konsumen—yang telah sekian lama tak berdaya di bawah kungkungan praktek monopoli—di sektor-sektor yang berkait dengan hajat hidup orang banyak. Selama ini, meski telah membayar mahal dan menikmati layanan di bawah standar, kita paling hanya bisa menggerutu saat saluran telepon Telkom putus atau mendapati air PAM yang bau. Beroleh layanan “byar-pet” khas PLN, kita hanya kuasa menyulut lilin sembari bersungut-sungut. Padahal, menurut catatan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, di tahun 2005 tarif dasar listrik di negeri ini masuk kategori kedua tertinggi di wilayah ASEAN, setelah Filipina.

Sebagaimana kita telah mahfum, monopoli cenderung merugikan konsumen. Ia mendistorsi pasar, membubungkan harga dan memerosotkan kualitas layanan. Karena itulah, peran pemerintah untuk mendobraknya menjadi penting. Di Amerika Serikat, misalnya, pada 1996 Kongres menghantam monopoli Bell dengan mengesahkan UU Telekomunikasi yang baru. Bell dipaksa membuka jaringan mereka supaya bisa diakses operator-operator lokal. Hasilnya, tarif telepon, termasuk seluler, di Negeri Paman Sam turun secara signifikan.

Karena itulah, tak hanya menyangkut tarif seluler, kami mendorong agar tuntutan perlindungan dan pemenuhan hak konsumen juga penting didesakkan di sektor-sektor lain. Pasar listrik, air bersih, dan layanan publik lainnya perlu diliberalisasi. Sedapat mungkin, dengan ikut menimbang daya beli kelompok yang tak mampu, praktek monopoli mesti terus dibongkar dan kompetisi makin digairahkan.


* * *

November 10, 2007

Kartu Tol Elektronik: Terobosan atau Beban?

Tajuk – Koran Tempo, 10 November 2007

Baru saja protes kenaikan tarif tol surut, kini meruap masalah baru. Soalnya kini di seputar tender proyek pengembangan sistem pembayaran tol elektronis (electronic toll collection, ETC) PT Jasa Marga dengan menggunakan teknologi Contactless Smart Card. Senin lalu, Menteri Negara Urusan Badan Usaha Milik Negara Sofyan Djalil meminta supaya proyek ini ditender ulang. Pasalnya, ia menolak pembebanan biaya administrasi kartu prabayar ini, sebesar 5 persen dari nilai pembayaran tol, kepada masyarakat pengguna. Jasa Marga lah, kata Menteri Sofyan, yang harus menanggung biaya itu.

Kami tentu bersuka cita dengan terobosan ini. Penerapan ETC adalah langkah maju dalam pengelolaan jalan tol di tanah air. Diawali di Bergen, Norwegia pada 1986 silam, sistem ini telah diaplikasikan di banyak negara maju maupun berkembang seperti Filipina dan Brasil.

Sistem ini menawarkan solusi bagi satu persoalan menjengkelkan: kemacetan di ruas tol, yang salah satunya diakibatkan penyumbatan di gerbang pembayaran. Dengan teknologi ETC, biaya tol didebit otomatis saat kendaraan melaju melewati gerbang, sehingga waktu transaksi bisa dipangkas menjadi kurang dari dua detik. Ini jauh lebih cepat dibanding waktu minimum tujuh detik yang diperlukan jika pengendara membayar dengan uang pas. Manfaat lain, sistem ETC juga mengurangi resiko kebocoran pendapatan Jasa Marga akibat tipu-muslihat penjaga gerbang tol.

Yang mengusik kami adalah soal tambahan 5 persen biaya administrasi itu. Beban yang akan ditimpakannya ke pundak konsumen tidaklah sedikit. Coba kita hitung.

Proyek ini akan diterapkan di dua jalur: Cawang-Tomang-Cengkareng dan Padalarang-Cileunyi. Selama tahun 2006 kedua ruas ini menghasilkan pendapatan hampir Rp 900 miliar. Anggaplah kita mengacu pada data tahun itu dan bahwa seperlima pembayaran menggunakan Smart Card. Berdasarkan asumsi konservatif ini saja, masyarakat pengguna tol harus mengeluarkan sedikitnya Rp 9 miliar dana tambahan dalam setahun.

Lebih mendasar lagi, di sini ada soal pemenuhan hak kita sebagai konsumen dan kewajiban Jasa Marga selaku pengelola jalan tol. Kita membayar tol untuk menikmati jasa yang ditawarkan pengelola: bisa melaju di jalur bebas hambatan dan, karenanya, menghemat waktu. Jasa Marga kerap gagal memenuhi kewajiban mendasarnya ini.

Karena itulah, penerapan metode ETC harus dilihat sebagai upaya Jasa Marga menyudahi wanprestasinya selama ini. Pemanfaatan sistem itu mesti diposisikan sebagai pemenuhan kewajiban Jasa Marga atas janji-janjinya memperbaiki layanan tol—termasuk yang dinyatakan dengan berbunga-bunga belum lama ini ketika drastis menaikkan tarif tol.

Yang terakhir, pengenaan biaya administrasi akan menjadi disinsentif bagi pengguna jalan tol untuk beralih ke sistem pembayaran ETC. Jika sistem ini ditujukan mengatasi kemacetan, yang perlu dirancang justru adalah berbagai struktur insentif yang bisa membuat pengguna jalan tol berduyun-duyun menggunakannya. Di Amerika Serikat, misalnya, sistem serupa bernama E-ZPass menawarkan tarif diskon bagi para komuter dan jam-jam tertentu yang padat.

Pendek kata, penolakan Menteri Sofyan adalah penolakan kami juga.

* * *

October 31, 2007

Pertaruhan Kasus Pajak Asian Agri

Tajuk – Koran Tempo, 31 Oktober 2007

Pernyataan Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution mengernyitkan dahi kita. Darmin menerangkan bahwa salah satu opsi penanganan kasus dugaan penggelapan pajak Asian Agri Group yang sedang ditimbang pemerintah adalah penyelesaian di luar pengadilan (out of court settlement).

Mendengarnya kita terusik, karena penyidikan aparat pajak telah menyimpulkan bahwa sepak terjang kelompok usaha milik taipan Sukanto Tanoto itu berpotensi merugikan negara dalam skala yang luar biasa. Nilai sementara ditaksir mencapai Rp 1,3 triliun. Jika kelak terbukti, kasus ini akan dicatat sebagai salah satu manipulasi pajak terbesar dalam sejarah Republik.

Karena itu kita lantas bertanya, seberapa patut langkah ini diambil pemerintah?

Menurut hemat kami, kita sebaiknya tak buru-buru menyimpulkan ada udang di balik opsi tersebut. Selama ini, kami mengenal Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Dirjen Darmin Nasution sebagai sosok yang berintegritas. Pemerintah sendiri belum mengambil keputusan final. Menteri Sri telah menyatakan akan tetap melimpahkan perkara ini ke kejaksaan dan menegaskan komitmennya untuk menangani kasus besar ini dengan berpegang teguh pada ketentuan hukum. Mari kita buka mata dan telinga untuk mengawasi dan memastikannya.

Di luar rasa was-was itu, perlu kami nyatakan bahwa, suka tak suka, hukum memang mengizinkan pemerintah mengambil langkah itu. Pasal 44B dalam UU 9/2004 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang lantas diperbaharui UU 28/2007, menyatakan bahwa demi kepentingan penerimaan negara dan atas permintaan Menteri Keuangan, Jaksa Agung dapat menghentikan penyidikan.

Dari informasi yang kami himpun, kami memaklumi opsi ini masuk pertimbangan karena suatu alasan taktis. Jika perkara ini diajukan ke pengadilan, yang masih teramat korup itu, negara menghadapi resiko gigit jari—tersangka dihukum ringan, bahkan lolos, dan dikenai denda minimal, bahkan mungkin nol.

Namun demikian, di atas permakluman itu, kami mendesak agar pemerintah menjalankan amanat undang-undang dengan sepenuh-penuhnya. Pasal 44B itu mensyaratkan penyidikan bisa dihentikan jika, dan hanya jika, tersangka terlebih dahulu melunasi tunggakan pajaknya ditambah membayar denda sebesar empat kali dari nilai yang digelapkan.

Ketentuan ini tak boleh dikompromikan seinci pun. Nilai denda mesti dimaksimalkan. Berpatokan pada nilai dugaan penggelapan sebesar Rp 1,3 triliun, maka jika kelak terbukti, Asian Agri harus dipastikan menyetor tak kurang dari Rp 6,5 triliun ke kas negara.

Hanya dengan itulah rasa keadilan masyarakat bisa tetap terpenuhi. Hanya dengan itulah efek jera bisa tetap menjalar pada pengemplang pajak yang lain.

Kasus Asian Agri adalah suatu pertaruhan. Ia akan sangat menentukan kadar kepatuhan kita dalam membayar pajak, dan karenanya, menjadi pertaruhan bagi masa depan perpajakan yang merupakan tumpuan utama pendapatan nasional. Dari total penerimaan anggaran di tahun ini, pajak ditargetkan menyumbang 70,9 persen, atau Rp 500 triliun lebih.

Tak hanya itu, yang juga sedang dipertaruhkan adalah keberhasilan reformasi birokrasi yang kini sedang digelar di Departemen Keuangan, khususnya di Direktorat Jenderal Pajak. Penanganan kasus Asian Agri adalah tolok ukur kita dalam menilai apakah aparat pajak yang kini bergaji tinggi itu tak lagi takluk di hadapan mereka yang berlimpah uang dan kuasa.

* * *