November 10, 2007

Kartu Tol Elektronik: Terobosan atau Beban?

Tajuk – Koran Tempo, 10 November 2007

Baru saja protes kenaikan tarif tol surut, kini meruap masalah baru. Soalnya kini di seputar tender proyek pengembangan sistem pembayaran tol elektronis (electronic toll collection, ETC) PT Jasa Marga dengan menggunakan teknologi Contactless Smart Card. Senin lalu, Menteri Negara Urusan Badan Usaha Milik Negara Sofyan Djalil meminta supaya proyek ini ditender ulang. Pasalnya, ia menolak pembebanan biaya administrasi kartu prabayar ini, sebesar 5 persen dari nilai pembayaran tol, kepada masyarakat pengguna. Jasa Marga lah, kata Menteri Sofyan, yang harus menanggung biaya itu.

Kami tentu bersuka cita dengan terobosan ini. Penerapan ETC adalah langkah maju dalam pengelolaan jalan tol di tanah air. Diawali di Bergen, Norwegia pada 1986 silam, sistem ini telah diaplikasikan di banyak negara maju maupun berkembang seperti Filipina dan Brasil.

Sistem ini menawarkan solusi bagi satu persoalan menjengkelkan: kemacetan di ruas tol, yang salah satunya diakibatkan penyumbatan di gerbang pembayaran. Dengan teknologi ETC, biaya tol didebit otomatis saat kendaraan melaju melewati gerbang, sehingga waktu transaksi bisa dipangkas menjadi kurang dari dua detik. Ini jauh lebih cepat dibanding waktu minimum tujuh detik yang diperlukan jika pengendara membayar dengan uang pas. Manfaat lain, sistem ETC juga mengurangi resiko kebocoran pendapatan Jasa Marga akibat tipu-muslihat penjaga gerbang tol.

Yang mengusik kami adalah soal tambahan 5 persen biaya administrasi itu. Beban yang akan ditimpakannya ke pundak konsumen tidaklah sedikit. Coba kita hitung.

Proyek ini akan diterapkan di dua jalur: Cawang-Tomang-Cengkareng dan Padalarang-Cileunyi. Selama tahun 2006 kedua ruas ini menghasilkan pendapatan hampir Rp 900 miliar. Anggaplah kita mengacu pada data tahun itu dan bahwa seperlima pembayaran menggunakan Smart Card. Berdasarkan asumsi konservatif ini saja, masyarakat pengguna tol harus mengeluarkan sedikitnya Rp 9 miliar dana tambahan dalam setahun.

Lebih mendasar lagi, di sini ada soal pemenuhan hak kita sebagai konsumen dan kewajiban Jasa Marga selaku pengelola jalan tol. Kita membayar tol untuk menikmati jasa yang ditawarkan pengelola: bisa melaju di jalur bebas hambatan dan, karenanya, menghemat waktu. Jasa Marga kerap gagal memenuhi kewajiban mendasarnya ini.

Karena itulah, penerapan metode ETC harus dilihat sebagai upaya Jasa Marga menyudahi wanprestasinya selama ini. Pemanfaatan sistem itu mesti diposisikan sebagai pemenuhan kewajiban Jasa Marga atas janji-janjinya memperbaiki layanan tol—termasuk yang dinyatakan dengan berbunga-bunga belum lama ini ketika drastis menaikkan tarif tol.

Yang terakhir, pengenaan biaya administrasi akan menjadi disinsentif bagi pengguna jalan tol untuk beralih ke sistem pembayaran ETC. Jika sistem ini ditujukan mengatasi kemacetan, yang perlu dirancang justru adalah berbagai struktur insentif yang bisa membuat pengguna jalan tol berduyun-duyun menggunakannya. Di Amerika Serikat, misalnya, sistem serupa bernama E-ZPass menawarkan tarif diskon bagi para komuter dan jam-jam tertentu yang padat.

Pendek kata, penolakan Menteri Sofyan adalah penolakan kami juga.

* * *

No comments: