Oleh: Karaniya Dharmasaputra
Jum'at, 3 Juli 2009, 20:16 WIB
VIVAnews - Debat Calon Presiden RI putaran kedua, 25 Juni 2009.
SBY (sambil melirik JK): "SBY juga bisa cepat ... Jika terpilih, saya akan melanjutkan program pro rakyat ... Lebih tepat, lebih baik, lebih amanah."
JK menukas: "Saya sanggup karena punya pengalaman, dan saya lebih cepat, lebih baik... Saya siap 'lanjutkan' Pak SBY."
Mega tak mau kalah: "Pak SBY dan JK ini
kan pernah bekerja sama saya."
JK : "Tapi, kerja saya bagus
kan, Bu?"
Mega: "Tidak,
dong."
Gerrrr ... para kandidat dan hadirin pun tertawa.
***
Meski belum sesengit dan sesubstansial acara serupa di Amerika, debat calon presiden kita mulai lumayan asyik ditonton. Cair. Segar.
Besar hati juga melihatnya. Terlebih, jika kita tengok nasib demokrasi di negara-negara lain di Asia, yang berguguran satu per satu.
Majalah
Time mencatat betapa sejak tahun 2008 negara-negara Asia seperti kian menjauh dari demokrasi. Malaysia terus bergumul dengan praktek-praktek politik kotor untuk membungkam kelompok oposisi. Demokrasi Thailand, Korea Selatan, dan Mongolia riuh-rendah dengan huru-hara dan aksi protes jalanan. Pakistan dan Timor Leste nyaris terjatuh dalam kategori negara-gagal. Filipina yang merebut demokrasinya melalui gerakan People Power di tahun 1986 berkali-kali menetapkan status negaranya dalam situasi darurat karena kemelut politik.
Karena itu, tak kelewat berlebihan jika majalah berpengaruh
Economist belum lama ini menurunkan sebuah artikel berjudul
"the Indonesian Suprise" dan memuja-muji negeri kita sebagai "
South-East AsiaĆs only fully functioning democracy (satu-satunya demokrasi yang berfungsi secara penuh di Asia Tenggara)."
Salah satu pilar terpenting demokrasi, kebebasan pers, pun masih tegak dijaga--meski berkali-kali coba dibikin keropos. Salah satu buktinya datang pada Jumat kemarin, 3 Juli 2009. Di hari itu Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan
judicial review--yang diajukan oleh VIVAnews bersama enam media lain--terhadap sejumlah pasal di UU Pemilihan Presiden yang mengancam kebebasan pers dan berupaya menghidupkan kembali mekanisme bredel.
Tentu saja, sebagai sebuah demokrasi yang masih belia, kekurangan pastilah terdapat di sana-sini.
Satu yang patut dicatat adalah Kinerja Komisi Pemilihan Umum periode ini yang luar biasa jeleknya, untuk tak mengatakan "memalukan." Jutaan pemilih yang direnggut haknya pada pemilu legislatif lalu menyisakan bukan hanya jejak skandal tapi juga ancaman pidana pemilu. Sistem tabulasi kita bahkan mundur ke Zaman Batu, membuat kita harus kembali ke,
masya Allah, metoda pencatatan manual.
Hal penting lain adalah begitu mahalnya ongkos politik kita sekarang. Sistem suara terbanyak ternyata menuntut biaya
political marketing miliaran rupiah untuk tiap kandidat. Seorang calon legislator mengaku menghabiskan setidaknya Rp 1 miliar selama kampanye pemilu legislatif kemarin. Itu minimal, katanya.
Implikasinya serius.
Bukan hanya sejumlah calon anggota DPR yang gagal terpilih jadi sinting (dalam arti harfiah), tapi juga praktek ini mengancam kualitas parlemen kita di masa depan. Fakta menunjukkan banyak kandidat yang berkualitas gagal ke Senayan karena tak punya cukup dana kampanye. Mereka kalah beken dari calon yang semata berkantung tebal atau kurang lucu dibanding Eko Patrio.
Kita tentu tak ingin kembali ke sistem politik yang didominasi oligarki partai. Sebuah sistem pemilihan yang menggabungkan mekanisme penunjukan partai dan suara terbanyak--sebagaimana yang diadopsi beberapa negara di Eropa--bisa menawarkan jalan tengah yang baik. Ke depan, amandemen paket UU politik perlu disegerakan menuju ke arah ini.
Demokrasi kita, mengutip
Economist, memang belum lagi menjadi paragon dari demokrasi Jeffersonian. Tapi, tidaklah dapat dipungkiri, ia sedang terus bergerak maju.
Selamat memilih!
Lanjutkan! Lebih cepat, lebih baik. Supaya kita memiliki sistem demokrasi yang yang pro-rakyat.
(kar.d@vivanews.com | twitter: @karaniya)